MAKALAH
MASALAH – MASALAH PENDIDIKAN
Dosen Mata Kuliah Landasan
Kependidikan
Dr. Slamet Santoso, M.Pd
Heryanto Susilo, S.Pd, M.Pd
Disusun oleh :
1. Syifa Azzah Hafidhoh (
121 034 025 )
2. Oki
Dwi Saputro ( 121 034 027 )
3. Rizka Arum Puspita (
121 034 206 )
4. Narti Asih (
121 034 034 )
5. Alif Yunus Ramadzan (
121 034 231 )
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta
hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Landasan Kependidikan
dengan judul “Masalah – Masalah Pendidian
“. Shalawat serta salam tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang
yaitu Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Landasan Kependidikan yang merupakan salah satu syarat kelulusan. Serta sebagai
salah satu sumber referensi bagi para pembaca khususnya yang memprogram mata
kuliah Landasan Kependidikan.
Tim penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali
kekurangan pada penulisan makalah ini, sehingga kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sekalian sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Surabaya, Desember 2012
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
Daftar Isi . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. iii
Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . 1
1.2 Rumusan Masalah .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . 1
1.3 Tujuan Penulisan .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . 1
Bab 2 Pembahasan
2.1 Permasalahan Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . 2
2.2 Masalah dan Usaha-Usaha Dalam Pendidikan . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
2.3 Hambatan Dalam Permasalahan Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . 16
Bab 3 Penutup
3.1 Simpulan .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . 24
3.2 Saran .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . 25
Daftar Pustaka .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . iv
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Pendidikan
merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Hampir seluruh dimensi kehidupan
manusia terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung, maupun tidak
langsung. Dalam proses pendidikan, ada unsur politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, kesehatan, iklim, psikologis, sosiologis, etika, estetika,dan
sebagainya. Penanganan pendidikan dengan begitu perlu mempertimbangkan
dimensi-dimensi tersebut.
Pendidikan itu
sendiri melibatkan beberapa komponen yang berperan aktif terhadap kesuksesan
pendidikan. Apabila mereka keliru dalam menentukan prioritas komponen tersebut ,
yang terjadi hanyalah pemborosan dana semata tanpa hasil yang memuaskan. Selama
ini pemerintah dan masyarakat Indonesia terlalu di sibukkan oleh urusan
perbaikan kurikulum.
Disinilah
terletak problem yang paling serius terkait dengan pendidikan di Indonesia.
Kita semua justru mengesampingkan kesadaran pendidikan, sebagai kunci yang
menentukan keberhasilan di tempat manapun, berjenis apapun, dan bercorak
apapun. Kesadarn pendidikan dapat menentukan pendidikan yang menekankan aspek
intelektual, ketrampilan, profesi, dan yang lain.
Kesadaran
pendidikan masih belum tergarap secara serius dan maksimal. Oleh karena itu,
wajar kalau pendidikan di Indonesia telah mengalami kegagalan baik kegagalan
lulusannya mengatasi problemnya sendiri, maupun dalam mengatasi problem yang di
hadapi masyarakat.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1.2.1
Apa jenis-jenis permasalahan pendidikan
?
1.2.2
Apa masalah dan usaha-usaha dalam dunia pendidikan
?
1.2.3
Apa hambatan dalam permasalahan
pendidikan ?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
1.3.1
Menjelaskan tentang jenis permasalahan
pendidikan
1.3.2
Menjelaskan tentang masalah dan usaha –
usaha untuk mengatasi masalah pendidikan
1.3.3
Menjelaskan tentang hambatan
permasalahan pendidikan
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1
JENIS PERMASALAHAN PENDIDIKAN
Permasalahan pendidikan
baik sebagai ilmu teoritik maupun sebagai ilmu terapan tidak pernah lepas dari
permasalahan. Sebagai ilmu teoritik telah terjadi perbedaan-perbedaan konsep
dalam berbagai hal yang tersangkut di dalamnya, sedangkan dalam kegiatan
penerapan ilmu tersebut terjadi juga hambatan-hambatan, baik akibat perbedaan
konsep yang dipakai sebagai dasar maupun akibat penghambat yang sifatnya
teknis.
1. Permasalahan Teoritis
Permasalahan
teoritis antara lain akibat perbedaan ilmu-ilmu pendukung yang digunakan dan
juga akibat perbedaan konsep dalam ilmu-ilmu pendukung tersebut. Sebagian
pemikir pendidikan hanya memasukkan filsafat, psikologi dan sosiologi dalam
menyusun konsep dan merancang pelaksanaan pendidikan, sedangkan pemikir lain
menggunakan juga acuan yang lain, misalnya politik, ekonomi, iptek, dan
sebagainya. Dalam menggunakan ilmu-ilmu di luar pendidikan itu sendiri terdapat
banyak pola yang di pakai berdasarkan berbagai sudut pandang yang ada dalam
ilmu-ilmu tersebut.
Di negara tertentu
sudah memasukkan unsur perkembangan iptek, isu demokrasi, HAM, keragaman
budaya, politik dan sebagainya, dalam berfikir tentang pendidikan, tetapi di
negara tertentu, termasuk Indonesia, relatif baru saja berfikir pendidikan
dengan memperhatikan hal-hal tersebut.
Permasalahan-permasalahan
teoritik tersebut diatas, dan masih ada permasalahan teoritik yang lain, akan
menjadi ganjalan bagi pelaksanaan dan pengguna hasil pendidikan karena
pengaruhnya yang berupa seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan.
Umar
Tirtaraharja dalam pertemuan FIP/ JIP di makasar tahun 2001 memandang perbedaan
sudut pandang seperti tersebut di atas telah menyebabkan terjadinya kesalahan
penyelenggaraan pendidikan yang dikatakan sebagai kesalahan filosofis. Menurut
tokoh ini ada lima jenis kesalahan yaitu :
a. Kesalahan
tehnis misalnya pandangan yang mengatakan bahwa disiplin hanya dapat dididik
melalui kekerasan.
b. Kesalahan
sistematis, misalnya pandangan bahwa tempat belajar yang paling afdhol adalah
sekolah.
c. Kesalahan
teoritis, misalnya mengajar adalah memberikan ilmu.
d. Penerapan
yang salah, misalnya pandangan bahwa semakin banyak ilmu semakin membuat orang
bahagia.
e.
Kesalahan filosofis, misalnya pandangan
bahwa kesuksesan seseorang tergantung pada aspek ketrampilan yang diperoleh (
mengabaikan aspek moral ).
Di bagian lain Tirtaraharja
mengklasifikasikan masalah-masalah pendidikan tersebut menjadi tiga kelompok
yaitu :
a. Masalah
operasional, masalah yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan, misalnya
kesalahan pemilihan metode mengajar, memilih dan atau menggunakan media dan
sebagainya.
b. Masalah
struktural atau mungkin dapat disebut masalah manajemen, misalnya masalah sistem
pendidikan yang digunakan, misalnya koordinasi, kebijakan, dan sebagainya.
c. Masalah
fundamental, misalnya yang mendasar, misalnya masalah teoritis, filosofis, dan
sebagainya.
2. Permasalahan Praktis
Masalah praktis
pendidikan, di samping akibat pegangan teoritik yang tidak jelas seperti yang
diuraikan di atas, timbul karena kondisi dan tuntutan dari faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan, yaitu :
a.
Perkembangan iptek yang semakin cepat
Terdapat
korelasi antara perkembangan pendidikan dengan perkembangan ipteks. Ilmu
pengetahuan merupakan hasil dari eksplorasi dan pembaharuan secara sistemik dan
terorganisir dengan baik, mengenai alam semesta. Adapun teknologi adalah
penerapan yang dirancang dan terencana dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi
hajat hidup atau kebutuhan hidup manusia. Sedangkan seni adalah kemajuan
kebudayaan berupa aktifitas manusia berkreasi, yang indah untuk melaksanakan
tugas kehidupan dengan menyenangkan.
Suatu contoh betapa
pengaruh masalah kemajuan teknologi mempengaruhi sitem pendidikan, misalnya
perkembangan teknologi informatika. Saat ini seiap saat ada kejadian suatu
perkara dapat langsung disiarkan melalui televisi dan media cetak dengan gambar
kejadian yang benar. Demikian pula pendidikan yang dulu lebih banyak
menggunakan tatap muka langsung saat ini dapat dilaksanakan melalui internet,
tv atau modul. Peserta didik cukup duduk belajar di rumah. Kondisi ini
mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan
baru tujuan pendidikan selalu membutuhkan inovasi, termasuk sarana dan
prasarana laboratorium, dan ketenagaan serta pendanaan pendidikan.
Contoh diatas
menunjukkan gambaran pengaruh dari iptek terhadap sistem pendidikan. Di samping
itu setiap inovasi atau pembaharuan dengan aksentuasi terdapat sejumlah masalah
yang berkembang dalam pendidikan. Misalnya untuk mengatasi kekurangan guru pada
tahun 80-an di bukalah diploma untuk mencetak guru, akibatnya lulusan guru s1
tidak terangkat atau mendapatkan lapangan pekerjaan oleh karenanya. Contoh
lainnya untuk mengatasi kekurangan gedung sekolah dan guru, diadakan sekolah
sistem pamong dan SMP terbuka, untuk menghemaat waktu belajar diadakan program
Reduce Instructional Time (RIT), untuk memperluas jangkauan peserta didik
dengan biaya relatif murah diadakan belajar jarak jauh (BJJ), dan efektifitas
proses belajar dan kualitas hasil diadakan pendekatan CBSA dengan pemanfaatan
tenaga non guru antara lain konselor, teknisi sumber belajar, dan lain-lainnya.
Singkatnya hampir setiap inovasi mengundang dampak masalah dalam pendidikan,
demikian juga di bidang seni.
b.
Pengaruh pertambahan penduduk
Laju pertumbuhan
penduduk akan menimbulkan masalah dalam pendidikan. Pertumbuhan penduduk yang
tidak terkendali mengakibatkan penyediaan layanan pendidikan berupa sarana
prasarana pendidikan beserta komponennya juga bertambah, hal ini menjadikan
berkembangnya masalah pendidikan. Pertambahan penduduk yang dibarengi dengan
meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian serta panjangnya usia
rata-rata manusia mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan. Yaitu
proporsi penduduk usia sekolah dasar menurun, dan meningkatnya anak usia
sekolah lanjutan menengah, angkatan kerja dan usia tua berkat kemajuan di
bidang gizi serta kesehatan. Dengan demikian terjadi pergeseran kebutuhan akan
fasilitas pendidikan. Untuk fasilitas sekolah dasar berkurang sedangkan untuk
fasilitas sekolah lanjutan dan perguruan tinggi meningkat termasuk juga
angkatan kerja. Sedangkan untuk usia lanjut juga meningkat diperlukan
pendidikan non formal dan keagamaan.
c.
Peningkatan aspirasi masyarakat
Aspirasi
masyarakat terhadap pendidikan semakin meningkat. Dalam dua dasa warsa terakhir
ini aspirasi dalam kehidupan semakin meningkat, misalnya aspirasi terhadap ilmu
pengetahuan, pendidikan, hidup sehat, lingkungan, pekerjaan, teknologi dan
seni, kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan.
Banyak pakar sepakat bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang memadai,
teknologi yang tepat, hidup sehat yang lebih layak harus ada pekerjaan yang
menopang, dan pendidikan merupakan alternatif untuk memperoleh pekerjaan yang
layak dan tetap tersebut. Pendidikan memberikan harapan bagi peningkatan taraf
hidup dan menaikkan status sosial di masyarakat.
d.
Problem dana
Kekurangan dana
merupakan problem klasik yang dialami semua negara berkembang dalam
melaksanakan pendidikan. Keadaan semakin parah apabila mengambil kebijakan
tidak atau kurang menempatkan posii pendidikan bukan sebagai prioritas. Memang
kebanyakan pemimpin setuju kalau pendidikan merupakan kumci keberhasilan
pembangunan karena menyangkut sumber daya manusia, tetapi dalam praktek masih
lebih memprioritaskan aspek pembangunan yang lain. Bagaimana pendidikan dapat
berhasil dengan baik kalau sarana pendukungnya tidak memadai. Upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi problem dana adalah dengan paradigm berfikir
pendidikan yang inovatif, yaitu mencari jalan lebih efisien.
e.
Belum adanya sistem menajemen yang
mantap
Kemajuan zaman
menuntut adanya manajemen yang handal karena kenyataan membuktikan bahwa faktor
manajemen dapat merupakan faktor yang penyebab kurang optimalnya keberhasilan
suatu organisasi atau lembaga. Meskipun sumber daya cukup memadai kalau tidak
dikelola dengan baik dapat menyebabkan kegiatan berjalan dengan baik.
f.
Munculnya konsep-konsep baru
Pendidikan tidak
boleh kedap lingkungan dan kedap perkembangan konsep-konsep baru yang terjadi
di lingkungan. Banyak konsep yang dulunya belum mendapatkan perhatian sekarang
mau tidak mau harus dipakai acuan dalam berfikir dan berbuat dalam pendidikan.
Konsep baru tentang demokrasi, HAM, otonomi, keragaman budaya, masyarakat
madani, tuntutan global, peran politik, dan masih banyak lagi sekarang lebih
mencuat keras dalam masyarakat, dan kalau pendidikan memang merupakan sarana
untuk pengembangan sumber daya manusia dan perkembangan masyarakat, maka
konsep-konsep baru tersebut mau tidak mau harus digunakan berfikir dan berbuat
dikalangan pemikir dan pelaksana pendidikan.
3. Masalah praktis di Indonesia.
Masalah yang
dihadapi pemerintah Indonesia yang sampai saat ini dirumuskan menjadi 5
kelompok, yaitu :
a.
Masalah pemerataan pendidikan
Belum meratanya
pendidikan bagi warga negara merupakan masalah yang belum terselesaikan. Wayan
(1992) mengemukakan kualitas, proses dan hasil pendidikan belum merata antara
daerah-daerah di tanah air Indonesia, antara kota dan luar kota, antara di jawa
dan luar jawa. Pendidikan di Indonesia saat ini belum dapat mengangkat kualitas
hidup warga negara yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang.
Pendidikan mungkin baru dapat mengangkat mereka yang kemampuannya unggul saja.
b.
Masalah rendahnya mutu pendidikan
Masalah mutu dan
kualitas pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang memprihatinkan. Hal ini
terjamin antara lain dari hasil study kemampuan membaca untuk tingkat sekalah
dasar yang dilaksanaklan oleh IEA, menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia
berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta study. Sementara untuk SLTP,
study untuk kemampuan matematika SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan
ke-34 dari 38 negara, sedangkan untuk kemampuan IPA hanya berada pada urutan 32
dari 38 negara. Selanjutnya dari UNDP menunjukkan rendahnya kualitas SDM
Indonesia yakni berada pada peringkat 109 dari 174 negara yang di ukur,
setingkat dibawah Vietnam.
c.
Masalah efisiensi
Efisiensi
berarti dengan menggunakan tenaga, biaya yang serendah-rendahnya dapat memperoleh
hasil yang maksimal. Jadi sistem pendidikan dikatakan efisien apabila dengan
menggunakan segala sesuatu yang serba terbatas namun dapat menghasilkan
sebanyak-banyaknya lulusan yang berkualitas. Maka, pada hakikatnya masalah
efisiansi adalah masalah pengelolaan, terutama memanfaatkan sumber dana dan
daya yang ada pada pendidikan. Para ahli masih banyak yang mengatakan masalah
pengelolaan pendidikan di Indonesia kurang efisien. Hal ini nampak pada
banyaknya murid yang drop out dan banyaknya anak yang belum memperoleh
pendidikan, banyaknya anak yang tinggal kelas dan kurang mendapatkan layanan
yang semestinya bagi saudara yang lemah, terbelakang, penandang cacat atau yang
sangat cerdas. Untuk itu diperlukan suatu terobosan baru, agar mendapatkan arah
pendidikan yang efisien.
d.
Masalah Relevansi
Masalah
relevansi adalah masalah kesesuaian antara hasil pendidikan dengan tuntutan
lapangan kerja, kesesuaian antara sistem pendidikan dan pembangunan nasional
serta antara kepentingan perseorangan, keluarga dan masyarakat baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Melalui pendidikan hendaknya dapat
dihasilkan generasi yang terampil, cerdas, berpengaruh luas sehingga dapat
berperan menunjang pembangunan nasional di segala bidang. Untuk memenuhi
harapan tersebut diperlukan keterpaduan antara perencanaan, pelaksanaan dalam
pembangunan khusunya di bidang pendidikan.
e.
Masalah lemahnya manajemen pendidikan
Manajemen yang
terpusat pada masa dulu, banyak kendala, misalnya kebijakan pusat yang tidak
sejalan atau sesuai dengan kondisi di daerah, pemberian sarana yang tidak
diperlukan. Diterbitkannya Undang-Undang no. 22 tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah no.25 tahun 2000, maka “ genderang “ otonomi daerah telah ditabuh,
sehingga secara yuridis formal telah ada landasan hukum dan kemampuan politik
dalam penyelenggaraan pendidikan secara lebih otonomi. Implementasi otonomi
pendidikan di tingkat sekolah di Indonesia peningkatan manajemen dilakukan
melalui MBS. Hal ini dimaksudkan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
sekolah untuk mengambil kebijakan yang ada sesuai dengan sekolah
2.2
MASALAH DAN USAHA – USAHA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
1.
Mengejar
Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan menjadi problem
internasional. Dalam konteks Indonesia, mutu pendidikan baru pada tingkat
istilah yang mudah di ucapkan dan diharapkan oleh berbagai kalangan. Para
peneliti mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kemerosotan
mutu pendidikan agar dapat menemukan solusi yang tepat. Dengan mendeteksi
faktor-faktor penyebab kemerosotan, dapat memudahkan untuk menemukan “ obat
mujarab “yang seharusnya dikonsumsi agar mutu pendidikan sebagaimana diharapkan
oleh seluruh komponen bangsa benar-benar terwujudkan secara riil dan hadir
secepat mungkin.
Masyarakat masih sering menilai
mutu pendidikan diukur dari segi penampilan gedung yang megah, jumlah siswa
yang besar, siswa yang masuk berasal dari bintang-bintang kelas atau pelajar
teladan ketika mereka berada di sekolah sebelumnya, sering menjuarai lomba,
sering menyabet nilai tertinggi dalam ujian negara, dan biayanya mahal. Oleh
karena itu mereka memburu dan berebut untuk bisa memasuki maupun memasukkan
putra putrinya ke sekolah-sekolah yang memiliki karakter tersebut dengan
berbagai cara maupun pendekatan yang mereka tempuh.
Jadi, parameter mutu pendidikan
bagi masyarakat bersifat sangat kapitalistik sehingga masyarakat dari kalangan
menegah ke bawah merasa kesulitan menembus sekolah-sekolah yang di anggap
bermutu tersebut. Padahal, anggapan mereka tidak selalu benar. Dengan kemampuan
fasilitas yang lengkap, intelektual yang mapan, dan financial yang kuat dapat
memudahkan sekolah untuk memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan maupun kebutuhan
sekolah. Ketika seluruh keburuhann yang terpenuhi, proses pendidikan apalagi proses
pembelajarannya dapat berjalan dengan lancar.
Pendidikan yang berkualitas tidak
harus serba mahal, yang hanya bisa dijangkau oleh anak – anak orang kaya. Sebuah
pendidikan bermutu yang disandarkan pada fasilitas belajar menempatkan
pemahaman semakin mutu pendidikan semakin mahal dan elite sebuah sistem
pembelajaran. Salah satu tolok ukur pendidikan bermutu dari institusi
pendidikan ialah kemampuan institusi pendidikan untuk melahirkan sumber daya
manusia yang bermutu. Sementara itu, kualitas pendidikan dapat dilihat dari
segi ekonomi, sosial politis, sosial budaya, perspektif pendidikan itu sendiri
dan persperktif globalissasi.
Pada dasarnya, pendidikan meliputi
persekolahan. Mutu pendidikan semestinya meliputi mutu sekolah. Tolok ukur mutu
pendidikan juga berlaku sebagai tolok ukur mutu sekolah. Namun ada kalanya
parameter keberhasilan sekolah memiliki kriteria – kriteria yang spesifik lagi.
Gary A. Davis bersama Margareth A. Thomas melaporkan hasil penyelidikan para
peneliti bahwa satu –satunya faktor terpenting dalam keseluruhan keberhasilan
sekolah adalah visi, dedikasi, energi dan kepemimpinan instruksional kepala
sekolah.
2. Menerapkan Desentralisasi
Pendidikan
Menurut Syafaruddin, desentralisasi pendidikan
menjadi salah satu pilihan pemerintah Indonesia setelah era reformasi.
Desentralisasi pendidikan berkenaan dengan masalah yang sangat mendasar, yaitu
pendidikan adalah milik rakyat dan untuk rakyat. Melalui desentralisasi
pendidikan, rakyat lebih diperankan dalam menyelenggarakkan pendidikan mulai
dari tingkat perencanaan sampai tingkat evaluasi. Dari sini, desentralisasi
pendidikan dapat diharapkan mampu menumbuh-kembangkan pendidikan di Indonesia
secara alamiah ( natural ) tanpa terlalu dicampuri kepentingan – kepentingan
penguasa.
Tilaar menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan
akan melahirkan warga negara yang inovatif, kompetitif, tetapi juga kooperatif
dalam membangun masyarakat yang demokratis. Pada tataran konseptual, kebijakan
desentralisasi pendidikan dapat melahirkan inisiatif gagasan maupun tindakan
inovatif, watak kompetitif secara sehat, upaya menggali kearifan lokal, dan
dapat mencapai mutu pendidikan.
Komitmen dari pemerintah pusat untuk menerapkan
desentralisasi pendidikan cukup baik, tetapi ketika turun di daerah menjadi
ajang persaingan yang tidak sehat. Dari konsep tersebut mestinya antar-daerah
bisa bersaing keunggulan pendidikan di daerahnya masing – masing. Namun, yang
terjadi justru bersaing memoles nilai para peserta ujian untuk mengesankan
keberhasilan kepada daerah, tetapi sesungguhnya keberhasilan itu palsu.
Pemerintah menuntut demokrasi pendidikan secara
retorika, tetapi secara realitas menolaknya. Padahal, dalam desentralisasi
pendidikan terdapat kehidupan pendidikan yang lebih demokratis. James S.
Coleman menginformasikan bahwa dalam demokrasi terdapat teori yang
mengansumsikan pendidikan ,merupakan sebuah korelasi atau persyaratan bagi
tatanan demokratis.
Desentralisasi pendidikan dapat dipandang sebagai pembaruan
atau reformasi dalam pendidikan yang biasa menghadapi berbagai kesulitan.
Kesulitan sebagai suatu resiko sebaiknya dihadapi dan diatasi, bukan
ditinggalkan secara tidak bertanggung jawab. Apabila seluruh komponen bangsa
mampu bergerak dan bekerja terpadu serta searah berarti mereka solid dan
sinergis dalam mengatasi berbagai persoalan yang timbul akibat implementasi
desentralisasi pendidikan. Manakala model bekerja ini yang ditempuh oleh
mereka, sangat memungkinkan desentralisasi pendidikan menjadi sangat efektif
dalam mengangkat martabat pendidikan di Indonesia. Implementasi desentralisai
penddikan akan lebih efektif lagi ketika disertai manjemen berbasis sekolah.
3. Menerapkan Manajemen Berbasis
Sekolah
Penerapan desentralisasi pendidikan
tersebut menuntut pengelolaan model manajemen berbasis sekolah (MBS ) atau
school based management ( SBM ). Dengan kata lain, dari kebijakan
desentralisasi pendidikan, lalu ditempuh kebijakan dengan menerapkan manajemen
berbasis sekolah sebagai konsekuensi logisnya sehingga terdapat kesamaan misi
antar demokrasi, reformasi, otonomi daerah, desentralisasi pendidikan, dengan
manajemen berbasis sekolah.
Pemerintah telah meluncurkan
berbagai program seperti Aku Anak Sekolah, pemberian beasiswa pada peserta
didik serta dana bantuan operasional (DBO) bagi sekolah sekolah yang tidak
mampu sekolah untuk menyelamatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, khususnya
pendidikan dasar. Program-program tersebut merupakan jarring pengaman sosial
(JPS) dalam bidang pendidikan. Program-program tersebut sempat memberikan
harapan bagi kelangsungan dan terkendalinya kualitasny pendidikan pada masa
krisis. Namun lantaran pengelolaannya terlalu kaku dan sentralistik, program
tersebut tidak banyak memberikan dampak positif. Angka partisipasi pendidikan
nasional maupun kualitas pendidikan tetap menurun, hal ini di duga karena
persoalan manajemen. Oleh karena itu, muncullah ide pengelolaan pendidikan yang
memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai
kebijakan secara luas. Pemikiran ini kemudian disebut manajemen berbasis
sekolah (MBS) atau scholl based management (SBM), yang telah berhasil
memecahkan berbagai masalah pendidikan di berbagai negara maju.
Dengan demikian, muncullah
pemikiran penerapan manajemen berbasis sekolah di landasi evaluasi,
perbandingan, kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di
masyarakat, serta keharusan meningkatkan mutu pendidikan secara umum.
Kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarkat sebagai
bentuk tindakan responsif, objektif, dan sportif dalam menangani persoalan
pendidikan.
MBS merupakan suatu konsep yang
menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat
mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat
antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Menurut Susilo, paradigma MBS
beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan
mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Adapun tujuan MBS adalah
meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi
diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi
masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui
partisipasi orang tua, fleksibilitas pengelolaan sekolah, peningkatan
profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, dan hal-hal
yang menumbuhkan suasana kondusif. Sementara pemerataan pendidikan ditunjukkan
oleh partisipasi masyarakat yang mampu dan peduli, sedangkan yang kurang mampu
menjadi tanggung jawab pemerintah.
Fattah membagi implementasi MBS
menjadi tiga tahap, yaitu :
a.
Tahap sosialisasi menjadi penting karena
dua pertimbangan, yaitu kondisi wilayah Indonesia yang begitu luas, khususnya
daerah-daerah yang sulit dijangkau media informasi dan karakter masyarakat
Indonesia yang tidak mudah menerima perubahan.
b.
Tahap piloting merupakan tahap uji coba
agar penerapan manajemen berbasis sekolah tidak mengandung resiko. Efektifitas
piloting membutuhkan persyaratan dasar berupa akseptabilitas, akuntabilitas,
refikabilitas, dan sustainabilitas.
c.
Diseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan
model MBS yang telah di uji cobakan berbagai sekolah agar dapat
mengimplementasikannya secara efektif dan efisien.
4. Memperbaiki Kurikulum
Asal mulanya, kurikulum merupakan
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau sejumlah pengetahuan yang
harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah. Makna ini
menggambarkan bahwa kurikulum seperti daftar menu makanan. Kemudian, makna ini
bergeser menjadi lebih luas lagi. Belakangan kurikulum cenderung dipahami
sebagai seluruh kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan.
Kurikulum di Indonesia memiliki
gaung yang sangat besar. Seolah-olah pendidikan itu kurikulum, dan sebaliknya
kurikulum itu adalah pendidikan, sehingga bagi orang-orang tertentu sulit
membedakan antara keduanya. Padahal, kurikulum tidak lebih sebagai salah satu
alat pendidikan. Sementara alat-alat yang lain masih banyak, seperti alat
peraga, metode pengajaran, keteladanan, dan evaluasi. Namun, ketika disebut
kurikulum seolah-olah alat-alat pendidikan lain terhalangi oleh “ kebesaran
nama kurikulum “.
Hal ini terjadi karena persepsi
kita terhadap kurikulum terlalu di besar-besarkan. Semestinya kurikulum sebagai
suatu alat pendidikan yang keberadaannya biasa saja bahkan niscaya. Tetapi
kenyataannya, kurikulum dikesankan sesuatu yang istimewa sehingga menyerap
perhatian banyak orang.
Kurikulum perlu mengalami
perubahan, sebaiknya berubah, dan adakalanya harus segera diubah ketika
menghadapi tantangan-tantangan yang mendesak. Perubahan kurikulum mesti
dilakukan terutama akibat perkembangan sains dan teknologi yang begitu jauh
sementara kurikulum pendidikan belum merespons perkembangan tersebut. Alasan
ini bagi masyarakat dan guru bisa dipahami. Pangkal persoalan keresahan
masyarakat khususnya para guru dan siswa adalah konsekuensi-konsekuensi
pasca-perubahan kurikulum. Pada sisi lain, perubahan kurikulum menyerap
anggaran yang besar sekali. Masyarkat menyadari logika anggaran itu, tetapi
mereka menjadi berang ketika mengetahui ada gejala-gejala pemanfaatan anggaran
dengan kedok perubahan kurikulum.
Perubahan kurikulum merupakan suatu
keniscayaan, terlepas adanya kesulitan-kesulitan tertentu termasuk keresahan masyarakat
tersebut. Apabila kesulitan itu dihadapi atau direspons secara positif dengan
dicarikan solusi, pada akhirnya akan bisa diatasi dengan baik. Apalagi adanya
perubahan atau pembaruan kurikulum. Hukum perubahan atau pembaruan selalu
menimbulkan gejolak, konflik, dan gugatan karena perubahan atau pembaruan selalu
membawa nilai-nilai baru berhadapan dengan kepentingan-kepentingan dari
kalangan tertentu yang berlawanan.
Kemungkinan adanya penolakan terhadap
kebijakan perubahan kurikulum tidak menyurutkan tekad dan semangat pemerintah
untuk tetap melakukan perbaikan kurikulum sebagai jawaban terhadap pengembangan
masyarakat, modernitas, maupun perkembangan sains dan teknologi. Sikap tegas
ini didasari suatu pemikiran bahwa perbaikan kurikulum setidaknya sebagai
langkah awal untuk merealisasikan kemajuan pendidikan di Indonesia.
Hadis dan Nurhayati memandang
kurikulum memegang peranan penting dalam mendukung pembelajaran yang optimal
sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas. Menurut Dede Rosyada salah satu
penyelesaian tentang kurikulum di Indonesia adalah melalui perbaikan mendasar
pada kurikulum. Sedangkan menurut pandangan Oemar Hamalik, kurikulum merupakan
alat yang amat penting untuk meningkatkan keberhasilan sistem pendidikan secara
menyeluruh.
Selama ini kurikulum telah
berganti-ganti. Pergantian atau perubahan kurikulum telah didasarkan pada
berbagai teori yang paling mutakhir, telah dihadirkan pakar pendidikan dan
bahkan pakar kurikulum. Namun kurikulum tersebut tidak bisa dirasakan fungsinya
jika tidak disertai metode pembelajarannya. Tukiman Tarunasayoga bahkan
menilai, “ apapun kurikulumnya yang terpenting adalah metode pembelajarannya “.
Disinilah arti penting dari suatu metode pembelajaran, pendekatan pembelejaran,
strategi pembelajaran, dan semacamnya dalam keseluruhan proses dan hasil
pendidikan. Semua itu dapat dirangkum ke dalam istilah sistem pembelajaran.
5.
Memperbaiki
Sistem Pembelajaran
Metode pembelajaran memiliki
kontribusi terhadap hasil pendidikan. Metode pembelajaran ini melengkapi peran
kurikulum dalam mewujudkan hasil pendidikan. Oleh sebab itu, metode, model,
pendekatan, maupun strategi pembelajaran seharusnya mendapat perhatian
bersamaan dengan kurikulum. Metode pembelajaran ini, di samping atmosfer yang
diciptakan di sekolah, turut memberi pengalaman pada anak. Menurut Djohar, “
pengalaman anak dalam proses pembelajaran sehari-hari akan mewarnai kompetensi
lulusannya.“
Demikian juga corak pengalaman yang
dihadapi siswa ketika di rumah. Pengalaman di rumah sangat berpengaruh terhadap
tipologi kepribadian anak. Dorothy Law Nolte memaparkan proses pengalaman anak
a.
If a child lives with criticsm, he learns to
condemn
b.
If
a child lives with hostility, he learns to fight
c.
If
a child lives with fear, he learns to be apprehensive
d.
If
a child lives with pity, he learns to feel sorry for himself
e.
If
a child lives with ridicule, he learns to be shy
f.
If
a child lives with jealousy, he learns what envy is
g.
If
a child lives with shame, he learns to feel guilty
h.
If
a child lives with encouragement, he learns to be confident
i.
If
a child lives with tolerance, he learns to be patient
j.
If
a child lives with praise, he learns to be appreciative
k.
If
a child lives with acceptance, he learns to love
l.
If
a child lives with approval, he learns to like himself
m.
If
a child lives with recognition, he learns that it is good to have a goal
n.
If
a child lives with sharing, he learns about generosity
o.
If
a child lives with honesty and fairness, he learns wath truth and justice are
p.
If
a child lives with security, he learns to have faith in himself and in those
about him
q.
If
a child lives with friandlines, he learns that the world is a nice place in
whice to live
r.
If
you lives with serenity, your child will live with peace of mind
Peringatan
tersebut sangat berarti untuk direnungkan dan dipikirkan kembali. Kemudian,
kalau selama ini keliru dalam mendidik anak seharusnya segera mengubah situasi
pendidikan di rumah oleh orang tua. Di sekolahpun guru juga perlu meninjau
kembali sikap dan responnya dalam menghadapi anak-anak. Anak bisa minder karena
kesalahan sikap guru, namun seorang anak bisa bersemangat karena peran guru
yang baik dalam mendidiknya. Ini semua tergantung dari kondisi atau suasana
sistem pembelajaran yang mereka terima. Sistem pembelajaran harus semakin
diarahkan dan dipusatkan kepada siswa (student
centered instruction) sebagai wujud dari penguatan demokrasi pendidikan.
6.
Meningkatkan Kesejahteraan Pendidikan
Pada tingkat institusional, tugas dan wewenang memajukan
pendidikan berada di tangan manajer pendidikan, baik Kepala Sekolah, Direktur
Akademi, Ketua Sekolah Tinggi, Dekan Fakultas dan Rektor Institut atau Universitas. Namun pada tingkat pembelajaran tugas
dan wewenang tersebut berada di tangan guru dan atau dosen. Hal ini sangat
bergantung pada kualitas guru dan atau dosen. Guru yang berkualitas akan bisa
mengawal kemajuan pendidikan sehingga menjadi penompang keberhasilan kepala
sekolah. Rahardjo, meyakinkan bahwa di tangan guru yang berkualitas akan lahir
lulusan yang juga berkualitas. Sebaliknya, di tangan guru yang berkualitas
rendah, tidak akan pernah lahir lulusan yang bermutu, sekalipun lembaga
tersebut berlabel internasional.
Menurut mulyasa, guru dalam menjalankan tugas memerlukan
rasa aman secar psikologis melalui kepastian karir dan insentif sebagai imbalan
atas pekerjaannya. Jaminan ini harus ada meskipun negara dalam keadaan krisis.
Pentingnya rasa aman tersebut, paling tidak supaya guru tidak disibukkan oleh
pekerjaan-pekerjaan sambilan yang bisa mengganggu konsentrasi mendidik siswa.
Kesejahteraan dan profesionalisme memberikan amunisi dalm
membangun kualitas pendidikan.Hadis dan Nurhayati menyatakan bahwa dalm
perspektif mikro,faktor dominan yang berpengaruh dan berkontribusi besar
terhadap mutu pendidikan adalah guru yang profesional dan sejahtera. Namun, Darmaningtyas mengingatkan,
kenaikan gaji guru yang tinggi tidak akan membawa perbaikan mutu pendidikan
nasional, apabila kenaikan gaji tersebut
hanya meningkatkan pola hidup konsumtif dengan cara kredit barang – barang
mewah saja. Bila ini terjadi, kenaikan gaji guru berapa-pun akan mubadzir,
tidak akan pernah berdampak pada perbaikan mutu pendidikan nasional.
2.3
HAMBATAN – HAMBATAN PERMASALAHAN PENDIDIKAN
A.
Intervensi
Politik
Kepentingan
politik pemerintah terhadap pendidikan ada pada setiap kekuasaan, hanya
kadarnya yang berbeda. Pendidikan nasional adalah kepanjangan dari pendidikan
politik dari penguasa pemerintahan. Pendidikan telah dijadikan alat penguasa
dan bukan sebagai sarana untuk kehidupan bernegara. Sejarah pendidikan telah
menunjukkan bagaimana pendidikan nasional telah dijadikan sebagai sarana
indoktrinasi ideologi negara atau partai politik yang berkuasa.
M. sirozi
menuturkan, bahwa institusi-institusi pendidikan pada awalnya di desain hanya
untuk menjalankan fungsi-fungsi pendidikan. Akan tetapi, dalam perkembangannya
bisa saja menjalankan fungsi-fungsi pendidikan. Akan tetapi, dalam
perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi tertentu baik disadari atau
tidak oleh pengelolanya. Ada tiga alasan utama yang mendasari kecenderungan
ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak
terlepas dari dinamika sosial politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena
kuatnya kecenderugan para politisi dalam mengeksploitasi peran lembaga
pendidikan untuk kepentingan politiknya ; dan ketiga karena para pengelola
sekolah hakikatnya juga para politisi yang sengaja dihadapkan pada dinamika
internal maupun eksternal.
Nuansa akademik
yang seharusnya mewarnai lembaga pendidikan sehingga ia benar-benar menjalankan
fungsi pendidikan dan steril dari implementasi kepentingan politik.
Kenyataannya, kepentingan politik merasuki pendidikan, baik pada dataran
filosofis, doktrinal, manajerial hingga pengajaran. Intervensi politik pada
pendidikan inilah yang menjadi hambatan besar. Uno mengatakan bahwa sistem
pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan
sentralistik dianggap sebagai salah satu penyebab keterpurukan mutu dan
keunggulan di tanah air. Sebab, sistem birokrasi selalu menempatkan sistem kekuasaan
sebagai faktor yang paling menetukan dalam proses dalam pengambilan keputusan.
Motif kekuasaan
birokrasi mengendalikan pendidikan adalah interest
atau kepentingan politik tertentu sehingga diorientasikan pada komitmen
membangun kekuatan, jaringan, pencitraan dan kemenangan politik dari suatu
agenda yang ingin dijalankan dalam suatu mayarakat. Pendidikan hanya dpersepsi
mengikuti kepentingan politik mereka sehingga menjadi wajar bahwa pendidikan di
Indonesia sedang menjalankan misi penguasa. Dengan kata lain, formalitasnya
pendidikan tetapi substansinya politik, sehingga lulusan-lulusan pendidikan
dikenal jago-jago memainkan intrik-intrik politik, tetapi sangat lemah dalam
menguasai substansi keilmuan.
Kepentingan
politik bagi peserta didik mengalami internalisasi tanpa disadari, telah
mengubah pandangan, mindset, persepsi, sikap dan perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Mungkin bagi kebanyakan peserta didik sekarang juga belum
menyadari bahwa kebijakan pemerintah tentang demokrasi pendidikan,
desentralisasi pendidikan, perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-Undang Guru dan Dosen bahkan sampai perumusan tujuan pendidikan nasional
ternyata tidak pernah lepas dari interest politik penguasa.
Sirozi
menuturkan, sangat sulit menemukan program atau kebijakan pendidikan yang tidak
dilatarbelakangi interest politik, diboncengi agenda politik atau terinspirasi
keyakinan ideologis tertentu. Sangat sulit menemukan kebijakan dan sikap
politik yang tidak bergandengan dengan agenda kependidikan. Menurut sirozi, “
pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di
setiap negara,baik negara maju maupun negar berkembang”. Permasalahannya,
ketika pendidikan diinterfensi kepentingan politik, pendidikan menjadi mandul
dan mengalami bias dari idealisme yang seharusnya. Pendidikan tidak mampu
memenuhi harapan masyarakat, justru pendidikan akhirnya menjadi sumber masalah
baru.
Soyomukti
menegaskan bahwa pendidikan adalah ajang pertarungan ideologis. Pada
kenyataannya, apa yang menjadi tujuan pendidikan saat ini berbenturan dengan
kepentingan lain. Ketika kepentingan politik berbenturan atau berhadap-hadapan,
praktis pendidikan menjadi permainan tarik tambang para politisi. Pendidikan
menimbulkan banyak korban, yakni masyarakat demi kelancaran kepentingan
penguasa.
Penggiringan
pemahaman masyarakat dimulai sejak anak-anak. Dalam usia yang sangat belia,
mereka telah memanfaatkan dengan diberikan doktrin-doktrin yang telah
direkayasa. Drost menyatakan , “ Sudah jelas azas usaha dasar persekolahan
ialah ‘ Sekolah Demi Anak ‘ “ketika anak dipaksa mengikuti kehendak sekolah
kemudian sekolah dipaksa mengikuti kehendak pemerintah atau penguasa,
konsekuensinya alur pendidikan terjungkir balik. Pendidikan hanya digunakan
topeng atau kedok.
Pendidikan hanya
menampilkan formalitas atau simbol-simbol, bukan substansi nilai-nilai
edukatif-pedagogis. Simbolisasi pendidikan ini seringkali bertabrakan dengan
aktifitas, baik pada dataran pendidikan intelektual, ketrampilan maupun moral.
Sehingga pendidikan hanya dijadikan sebagai “sapi perah” bagi tujuan dan
kepentingan politik tersebut.
B. Tuntutan Pasar
Politik memiliki
kaitan erat dengan ekonomi dalam mewarnai pendidikan. Sebagai ideologi ekonomi,
kapitalisme sekarang sedang berkibar menyusuri dan mempengaruhi kehidupan
masyarakat sehari-hari baik dalam bidang bisnis, sosial, budaya, kesehatan,
kesenian, hiburan, mode, makanan, maupun pendidikan. Kapitalisme begitu sukses
memengaruhi sebagian besar masyarakat
dunia karena disponsori oleh Negara-negara besar, seperti Amerika dan Inggris
serta sekutu-sekutunya.
Indonesia
termasuk Negara yang tidak lepas dari pengaruh kapitalisme hampir pada seluruh
sektor kehidupan. Susilo menyatakan, arus kapitalisme telah merasuk kedalam
urat nadi kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, dalam dunia pendidikan pun
tidak luput dari kekejaman kapitalisme yang hanya bicara soal untung dan uang
yang berkuasa atas segalanya. Tradisi liberal telah mendominasi konsep
pendidikan hingga saat ini. Pendidikan liberal menjadi bagian dari globalisasi
ekonomi liberal kapitalisme. Tilaar juga menuturkan, kekuatan ekonomi ini telah
memasuki pendidikan nasional. Salah satu bentuk pemikiran ekonomis dalam
pendidikan adalah orientasi liberalisme atau lebih tepat lagi neoliberalisme.
Pendidikan di
Indonesia kini makin mengalami kemunduran serta degradasi moral dan spiritual.
Proses pendidikan makin dijauhkan dari perimbangan sosial-religius sebagai
idealisme yang ingin diwujudkan melalui pesan-pesan pancasila. Pendidikan kita
makin diarahkan pada sifat-sifat materialistik, mengejar materi
sebanyak-banyaknya, dan menumpuk modal sebesar-besarnya sebagai jaminan
ketahanan suatu lembaga pendidikan.
Pengaruh
kapitalisme yang menekankan pada kebebasan pasar memaksa pendidikan untuk
mengikuti kaidah-kaidah, norma-norma, dan parameter-parameter perekonomian.
Tilaar menuturkan, epistema ekonomi menguasai pemikiran pendidikan.
Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga
pendidikan haruslah sesuai dengan standar, terutama yang telah ditentukan oleh
epistema ekonomi. Ketika lembaga pendidikan disebut favorit, maju, dan
bonafide, berarti lembaga tersebut telah memenuhi standar unggulan.
Selanjutnya,
pendidikan kita didesain seperti perlombaan atau pertandingan. Lembaga
pendidikan lain dianggap kompetitor, siswa lain sebagai rival, dan lulusan dari
sekolah lain apalagi dari luar negeri sebagai pesaing. Tilaar menuturkan,
dewasa ini “ daya saing “ merupakan momok baru di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Segala sesuatu diarahkan pada peningkatan daya saing sehingga proses
pendidikan telah mengabaikan proses pembudayaan serta penajaman moral. Hal ini
semakin memperkuat asumsi bahwa pendidikan kita dipaksa mengikuti keinginan
pasar. Sementara di pasar juga terdapat banyak penipuan, seperti lulusan
pendidikan kita yang banyak menipu masyarakat luas.
Setiawan
melaporkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih timpang. Pendidikan hanya
berorientasi pasar. Pendidikan belum mampu menyentuh persoalan riil yang
dihadapi msyarakat. Pendidikan hanya dijadikan alat mendapatkan “ kenikmatan
dunia “. Pendidikan belum mampu menjadikan manusia mandiri. Pendidikan belum
mampu menyadarkan manusia dari keterasingan hidup. Ringkasnya, pendidikan hanya
dijadikan komoditas pemilik modal. Pemilik modal membutuhkan uang dan
masyarakat membutuhkan status.
Rahardjo
mengungkapkan, pendidikan malah menjadi barang dagangan yang dirasakan semakin
mahal. Menteri pendidikan pun mendapat julukan baru sebagai menteri perdagangan
pendidikan. Sebab, pemerintah gagal menekan berkembangnya watak kapitalistik
pendidikan. Callahan menegaskan, meskipun pendidikan bukan bisnis dan sekolah
bukan pabrik, tak dapat dibantah adanya praktik bisnis yang sebenarnya dari
pekerjaan sekolah. Tetapi mereka seolah berpacu memberikan pendidikan terbaik
bagi anak-anak kita.
Jadi, kalau
pendidikan dapat meningkatkan perekonomian, seharusnya memang menjadi
keniscayaan kendatipun ada yang justru menjadi pengangguran intelektual.
Pendidikan seharusnya memiliki konstribusi, bukan malah korelasi dengan
ekonomi. Cadwall dan Spinks menegaskan, hubungan antara pendidikan dan ekonomi
tentu selalu ada. Pendidikan selalu memberikan konstribusi yang signifikan
terhadap peningkatan ekonomi. Pendidikan yang terpasung pada tujuan dan
orientasi ekonomi dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, antara lain
tumbuhnya kecenderungan hanya memburu formalitas, tumbuh suburnya sifat dan
sikap materialistik, timbulnya sikap ketergantungan pada pemerintah atau orang
lain, menempatkan diri pada posisi yang bergantung pada lapangan kerja, memupuk
sikap arogan, dan gila terhadap gelar.
C.
Keranjingan
Gelar
Sekali lagi
akibat dari keterpasungan pada ekonomi khususnya tuntutan pasar, keduanya
sebagai konsekuensi pengaruh kapitalisme-liberalisme maupun
liberalism-kapitalisme yang terefleksikan dalam bentuk neo-liberalisme, telah
menggeser kecenderungan-kecenderungan masyarakat, antara lain gila gelar atau
lebih ekstrim lagi patut disebut sebagai keranjingan gelar. Kesan atau nilai
gelar sekarang ini sangat berbeda dibandingkan dengan zaman dahulu seperti
gelar BA, B.Sc, dan Bc.Hk yang kuliahnya rata-rata tiga tahun sepadan dengan
D-3, sudah terasa sangat elitis. Apalagi gelar pada zaman kerajaan dahulu,
bahkan mengandung nilai-nilai sosial maupun mistik. Namun sekarang, penilaian
masyarakat sudah mengalami penurunan luar biasa karena banyak orang yang
menyandang gelar. Posisi gelar pada saat sekarang dapat dianalogikan dengan
kondisi yang terakhir itu, yakni banyak orang yang menyandang gelar, tetapi
sedikit sekali yang bisa terserap bekerja yang layak sepadan dengan gelarnya.
Bahkan, banyak pengangguran yang bergelar. Oleh karena itu, citra gelar menjadi
menurun drastis.
Chan dan Sam
menuturkan, secara kultural dan historis gelar mampu menjadi pendongkrak status
sosial seseorang. Dari dua perspektif itu gelar mempunyai makna yang signifikan
dengan jenjang karier atau jabatan. Gelar juga menjadi penentu awal dalam
seleksi dan penerimaan karyawan di sebuah perusahaan atau instansi. Meskipun
citra gelar mengalami penurunan secara drastis dibanding zaman dahulu, tetapi
masih dipandang penting terutama dalam memperoleh pekerjaan yang cukup
prestisius. Oleh karena itu, masyarakat masih memburu gelar dengan
berbondong-bondong memasuki perguruan tinggi. Tilaar menilai bahwa keranjingan
masyarakat pada gelar mempunyai nilai yang positif karena menandakan masyarakat
ingin maju. Sepanjang lembaga-lembaga pemberi gelar akademik tidak merugikan
masyarakat berarti mereka terus memburu dan memanfaatkannya, berarti membantu
usaha kita semua untuk mencerdaskan rakyat Indonesia.
Secara
substantif, perguruan tinggi telah kehilangan misinya, dan terlalu mudah
memberikan gelar tanpa menjaga kualitasnya dengan ketat. Perguruan tinggi
justru memfasilitasi keinginan masyarakat yang sangat pragmatis. Perguruan
tinggi membutuhkan dana besar, sedangkan masyarakat membutuhkan gelar sehingga
keduanya dalam posisi saling membutuhkan. Kebutuhan perguruan tinggi terhadap
dana besar melupakan fungsinya sebagai agent of change, agent of modernization,
agent of innovation, center of science, dan center of research development.
Sementara kebutuhan masyarakat pada gelar tanpa memperhitungkan
konsekuensi-konsekuensi keilmuan bagi mereka sebagai penyandang gelar.
Keranjingan
masyarakat pada gelar sebagaimana dinilai Tilaar sebagai tanda ingin maju
sebenarnya bertolak belakang. Penilaian pakar pendidikan ini baru terbukti
apabila keranjingan gelar tersebut didasarkan pada komitmen yang kuat dalam
penguasaan dan pendalaman ilmu pengetahuan. Masyarakat sangat menyukai gelar,
tetapi tidak menyukai ilmu. Mereka tidak resah ketika tidak mampu menguasai
ilmu di bidang keahlian yang dipilih. Mereka sangat resah bila gagal mendapatkan
gelar. Fakta inilah yang memberikan pengaruh negatif pada pelajar kita. Mereka
tidak lagi murni berkonsentrasi mencari ilmu. Mereka telah terkontaminasi oleh
kecenderungan dan sikap pragmatis tersebut. Leonard menyatakan bahwa salah satu
faktor yang merusak para pelajar kita sekarang ini adalah perlombaan dalam
mencari gelar perguruan tinggi.
Akibatnya,
pendidikan kita semakin jauh dari harapan. Kita sulit mencari orang yang
benar-benar murni mendalami ilmu. Bahkan banyak orang yang beranggapan bahwa
kuliah adalah mencari gelar, suatu konotasi yang berubah dari ilmu menjadi
status sosial. Darmaningtyas melaporkan bahwa banyak orang beranggapan bahwa
kuliah sekedar untuk mendapatkan ijazah atau gelar saja. Sikap pragmatis dan
reduksionis itulah yang melegitimasi terjadinya praktik jual beli gelar dan
kebijakan yang rusak-rusakan dalam bidang pendidikan, termasuk membuka kelas
jauh. Darmaningtyas mengidentifikasi bentuk-bentuk gelar sebagai cermin dari
berbagai cara yang ditempuh masyarakat kita. Ia menyebutkan ada 4 macam MM : MM
sungguhan, MM sabtu minggu, MM jarak jauh, dan MM kaki lima. Di samping itu,
terdapat 6 macam doctor : doctor disertai, doctor honoris causa, doktor humaris
causa, doktor hororis causa, doktor tiban, dan doktor palsu.
Dari segi
cara-cara memperoleh gelar doktor, menurut penulis ada 6 macam, yaitu doktor
mandiri, doktor kerja bakti, doktor jahitan, doktor pembelian, doktor
kehormatan, dan doktor barteran. Pertama doktor mandiri merupakan doktor yang
diperoleh dengan sungguh-sungguh menempuh kuliah dan menulis disertasi tanpa
kontribusi orang lain. Kedua adalah doktor kerja bakti yaitu doktor yang
diperoleh dengan kuliah, tetapi tugas-tugas penulisan karya ilmiah maupun
disertasi dikerjakan bersama-sama dengan banyak orang. Biasanya orang-orang
yang diajak kerja bakti itu adalah anak buah dari penyandang gelar doktor itu.
Ketiga adalah doktor jahitan, yaitu doktor yang di capai melalui kuliah tetapi
tugas-tugas karya ilmiah dan disertasi sengaja menyuruh orang lain untuk
mengerjakannya. Keempat adalah doktor pembelian yaitu doktor yang diperoleh
dengan cara membeli gelar tanpa kuliah sama sekali. Kelima doktor kehormatan
yaitu doktor yang diperoleh seseorang dari suatu perguruan tinggi karena
jasa-jasa orang tersebut kepada masyarakat yang dinilai olar biasa pesat.
Sementara yang keenam adalah doktor barteran yaitu doktor yang diperoleh
seseorang dari perguruan tinggi dengan cara perguruan tinggi tersebut berharap
mendapat sesuatu dari orang yang diberi gelar itu atau telah dilakukan
perjanjian sebelumnya mengenai imbalan yang bakal diterima perguruan tinggi
tersebut atau rektornya.
D.
Skandal
pendidikan
Kondisi
pendidikan di Indonesia semakin memprihatinkan jika kita memperhatikan berbagai
macam bentuk pelanggaran atau penyimpangan. Pelanggaran yang dilakukan dari
bentuk pelanggaran ringan hingga pelanggaran berat yang patut disebut sebagai
skandal pendidikan. Pelanggaran ini dilakukan berbagai pihak, baik siswa, guru,
kepala sekolah, pengawas, masyarakat, mahasiswa, dosen, pembimbing, pimpinan
perguruan tinggi, pejabat, polisi, jasa pembuatan karya ilmiah dan lain
sebagainya.
Para siswa di
Indonesia telah melakukan berbagai pelanggaran. Pelanggaran ini bisa berbentuk
menciptakan kebohongan ketika mereka datang sekolah , keluyuran di berbagai
tempat ketika jam pelajaran berlangsung, tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah
saat diberi tugas, membentuk “geng” yang digunakan untuk tawuran dengan sesame
siswa dari sekolah lain, merokok, minum-minuman keras, mengkonsumsi, melakukan
pergaulan bebas (free sex ), dan lain lain. Pelanggaran yang paling umum
dilakukan siswa adalah menyontek ketika pelaksanaan ujian nasional.
Ada perkembangan
lebih menarik lagi, ternyata banyak sekali tindakan menyontek yang dilakukan
siswa di desain oleh gurunya. Guru sering kali mengkondisikan tempat duduk
dengan menempatkan siswa yang bodoh diapit siswa yang pandai agar bisa
menyontek saat ujian. Ada guru yang mengajarkan sandi-sandi apabila ditanya
temannya, dan ada juga yang memasang kunci jawaban di toilet, hingga guru
mengerjakan soal yang jawabannya diberikan kepada siswanya.
Kasus-kasus
tersebut menunjukkan bahwa guru telah kehilangan kendali. Mereka telah
menggadaikan etika guru. Mereka telah menabrak hal-hal yang sangat prinsip bagi
guru, yaitu kejujuran. Guru yang sebelumnya dianggap sebagai sumber kejujuran,
sebagaimana tercermin pada namanya, guru (biso digugu lan ditiru : bahasa
jawa), belakangan menjadi arsitek kecurangan. Kalau guru sendiri sebagai
arsitek kecurangan apalagi yang bisa diharapkan hasil dari pendidikan di
Indonesia.
BAB 3
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Pendidikan itu merupakan kegiatan proses belajar mengajar
yang sistem pendidikannya yang senantiasa berbeda atau berubah dari satu
masyarakat kepada masyarakat lain. Terjadinya perbedaan atau perubahan pada
sistem pendidikan tersebutlah yang mengakibatkan munculnya permasalahan
pendidikan. Adapun jenis masalah pendidikan yaitu :
1. Permasalahan
Teoritis
2.
Permasalahan Praktis
Sedangkan
Pemerintah sudah cukup berusaha dalam mengatasi masalah-masalah dalam dunia
pendidikan ini. Masalah-masalah di dunia pendidikan pastilah harus dicarikan
usaha-usaha yang tepat untuk menyelesaikannya. Usaha-usaha tersebut antara lain
sebagai berikut :
1. Mengejar
Mutu Pendidikan
2. Menerapkan
Desentralisasi Pendidikan
3. Menerapkan
Manajemen Berbasis sekolah
4. Memperbaiki
Kurikulum
5. Memperbaiki
Sistem Pembelajaran
6.
Meningkatkan Kesejahteraan Pendidik
Namun dibalik
usaha-usaha yang telah dilakukan dengan penuh perhatian ini, tedapat banyak
kendala-kendala atau hambatan-hambatan dalam pelaksanaan usaha pemecahan
masalah pendidikan. Hal ini menyebabkan ada sebagian usaha yang sudah ditempuh
menjadi kurang maksimal. Hambatan-hambatan tersebut antara lain :
1. Intervensi
Politik
2. Tuntutan
Pasar
3. Keranjingan
Gelar
4. Skandal
Pendidikan
3.2 SARAN
Cita-cita
pendidikan di Indonesia begitu ideal, namun realitasnya masih jauh dari
idealisme pendidikan. Apapun kebijakan yang diusung pemerintah, entah pembaruan
kurikulum, entah meningkatkan anggran, entah peningkatan standar pendidikan,
hasilnya dirasa seakan-akan berjalan di tempat. Biaya pendidikan di sekolah
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penganguran berijazah sarjana semakin
banyak, jurang perbedaan kualitas sekolah di pusat-pusat kota dengan daerah
pelosok semakin dalam. Lulusan-lulusan yang dihasilkan pun dirasa masih jauh
dari harapan
Kekurang
berhasilan memajukan kualitas pendidikan disebabkan kesalah dalam
mengidentifikasi sumber permasalahan. Aspek penentu keberhasilan suatu
pendidikan terletak pada kesadaran pendidikan. Sebab, kesadaran pendidikan
adalah fondasi, landasan yang menentukan keberhasilan pendidikan. Maka
konsentrasi kebijakan perlu diarahkan kepada mekanisme membentuk dan membangun
kesadaran pendidikan. Lebih jauh lagi, membudayakannya sehingga menjadi
kebiasaan, sifat, dan kepribadian masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Canfield,J
& wells H. 1976. 100 Ways To Enhance
Self-Concept In The Classroom: a handbook for teachers a nd parents.
Boston. Allyn & bacon
Mutrofin.
2009. Mengapa Mereka Tak Bersekolah ?
Evaluasi Program Kewajiban Belajar. Jakarta. Laksbang Pressindo
Purwanto.2009.Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
Sugiono,dkk.
2009. Pengantar Ilmu Pendidikan.
Surabaya. Bintang Surabaya
Qomar,
Mujamil. 2012. Kesadaran Pendidikan
Sebuah Penentu Keberhasilan Pendidikan. Yogyakarta. Ar-Razz Media
Roesminingsih,MV
dan Hadi Susarno, Lamijan. 2011. Teori
dan Praktek Pendidikan. Surabaya. Bintang Surabaya