Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 25 Maret 2014

MASALAH – MASALAH PENDIDIKAN

MAKALAH
 MASALAH – MASALAH PENDIDIKAN


 



Dosen Mata Kuliah Landasan Kependidikan
Dr. Slamet Santoso, M.Pd
Heryanto Susilo, S.Pd, M.Pd
Disusun oleh :
1.     Syifa Azzah Hafidhoh   ( 121 034 025 )
2.     Oki Dwi Saputro           ( 121 034 027 )
3.     Rizka Arum Puspita      ( 121 034 206 )
4.     Narti Asih                      ( 121 034 034 )
5.     Alif Yunus Ramadzan   ( 121 034 231 )

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2012







KATA PENGANTAR

Puji syukur  kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Landasan Kependidikan dengan judul “Masalah – Masalah Pendidian “. Shalawat serta salam tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang yaitu Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Kependidikan yang merupakan salah satu syarat kelulusan. Serta sebagai salah satu sumber referensi bagi para pembaca khususnya yang memprogram mata kuliah Landasan Kependidikan.
Tim penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan pada penulisan makalah ini, sehingga kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.


Surabaya,    Desember  2012 
Tim Penyusun                        







DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                   . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
Daftar Isi                                             . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
Bab 1 Pendahuluan
            1.1 Latar Belakang                  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
            1.2 Rumusan Masalah             . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
            1.3 Tujuan Penulisan               . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
Bab 2 Pembahasan
            2.1 Permasalahan Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
            2.2 Masalah dan Usaha-Usaha Dalam Pendidikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
            2.3 Hambatan Dalam Permasalahan Pendidikan   . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
Bab 3 Penutup
            3.1 Simpulan                           . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
            3.2 Saran                                 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
Daftar Pustaka                                     . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv




BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Hampir seluruh dimensi kehidupan manusia terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Dalam proses pendidikan, ada unsur politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, kesehatan, iklim, psikologis, sosiologis, etika, estetika,dan sebagainya. Penanganan pendidikan dengan begitu perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi tersebut.
Pendidikan itu sendiri melibatkan beberapa komponen yang berperan aktif terhadap kesuksesan pendidikan. Apabila mereka keliru dalam menentukan prioritas komponen tersebut , yang terjadi hanyalah pemborosan dana semata tanpa hasil yang memuaskan. Selama ini pemerintah dan masyarakat Indonesia terlalu di sibukkan oleh urusan perbaikan kurikulum.
Disinilah terletak problem yang paling serius terkait dengan pendidikan di Indonesia. Kita semua justru mengesampingkan kesadaran pendidikan, sebagai kunci yang menentukan keberhasilan di tempat manapun, berjenis apapun, dan bercorak apapun. Kesadarn pendidikan dapat menentukan pendidikan yang menekankan aspek intelektual, ketrampilan, profesi, dan yang lain.
Kesadaran pendidikan masih belum tergarap secara serius dan maksimal. Oleh karena itu, wajar kalau pendidikan di Indonesia telah mengalami kegagalan baik kegagalan lulusannya mengatasi problemnya sendiri, maupun dalam mengatasi problem yang di hadapi masyarakat.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.2.1        Apa jenis-jenis permasalahan pendidikan ?
1.2.2        Apa masalah dan usaha-usaha dalam dunia pendidikan ?
1.2.3        Apa hambatan dalam permasalahan pendidikan ?
1.3  TUJUAN PENULISAN
1.3.1        Menjelaskan tentang jenis permasalahan pendidikan
1.3.2        Menjelaskan tentang masalah dan usaha – usaha untuk mengatasi masalah pendidikan
1.3.3    Menjelaskan tentang hambatan permasalahan pendidikan


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 JENIS PERMASALAHAN PENDIDIKAN
Permasalahan pendidikan baik sebagai ilmu teoritik maupun sebagai ilmu terapan tidak pernah lepas dari permasalahan. Sebagai ilmu teoritik telah terjadi perbedaan-perbedaan konsep dalam berbagai hal yang tersangkut di dalamnya, sedangkan dalam kegiatan penerapan ilmu tersebut terjadi juga hambatan-hambatan, baik akibat perbedaan konsep yang dipakai sebagai dasar maupun akibat penghambat yang sifatnya teknis.
1.      Permasalahan Teoritis
Permasalahan teoritis antara lain akibat perbedaan ilmu-ilmu pendukung yang digunakan dan juga akibat perbedaan konsep dalam ilmu-ilmu pendukung tersebut. Sebagian pemikir pendidikan hanya memasukkan filsafat, psikologi dan sosiologi dalam menyusun konsep dan merancang pelaksanaan pendidikan, sedangkan pemikir lain menggunakan juga acuan yang lain, misalnya politik, ekonomi, iptek, dan sebagainya. Dalam menggunakan ilmu-ilmu di luar pendidikan itu sendiri terdapat banyak pola yang di pakai berdasarkan berbagai sudut pandang yang ada dalam ilmu-ilmu tersebut.
Di negara tertentu sudah memasukkan unsur perkembangan iptek, isu demokrasi, HAM, keragaman budaya, politik dan sebagainya, dalam berfikir tentang pendidikan, tetapi di negara tertentu, termasuk Indonesia, relatif baru saja berfikir pendidikan dengan memperhatikan hal-hal tersebut.
Permasalahan-permasalahan teoritik tersebut diatas, dan masih ada permasalahan teoritik yang lain, akan menjadi ganjalan bagi pelaksanaan dan pengguna hasil pendidikan karena pengaruhnya yang berupa seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan.
Umar Tirtaraharja dalam pertemuan FIP/ JIP di makasar tahun 2001 memandang perbedaan sudut pandang seperti tersebut di atas telah menyebabkan terjadinya kesalahan penyelenggaraan pendidikan yang dikatakan sebagai kesalahan filosofis. Menurut tokoh ini ada lima jenis kesalahan yaitu :
a.       Kesalahan tehnis misalnya pandangan yang mengatakan bahwa disiplin hanya dapat dididik melalui kekerasan.
b.      Kesalahan sistematis, misalnya pandangan bahwa tempat belajar yang paling afdhol adalah sekolah.
c.       Kesalahan teoritis, misalnya mengajar adalah memberikan ilmu.
d.      Penerapan yang salah, misalnya pandangan bahwa semakin banyak ilmu semakin membuat orang bahagia.
e.       Kesalahan filosofis, misalnya pandangan bahwa kesuksesan seseorang tergantung pada aspek ketrampilan yang diperoleh ( mengabaikan aspek moral ).
Di bagian lain Tirtaraharja mengklasifikasikan masalah-masalah pendidikan tersebut menjadi tiga kelompok yaitu :
a.       Masalah operasional, masalah yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan, misalnya kesalahan pemilihan metode mengajar, memilih dan atau menggunakan media dan sebagainya.
b.      Masalah struktural atau mungkin dapat disebut masalah manajemen, misalnya masalah sistem pendidikan yang digunakan, misalnya koordinasi, kebijakan, dan sebagainya.
c.       Masalah fundamental, misalnya yang mendasar, misalnya masalah teoritis, filosofis, dan sebagainya.

2.      Permasalahan Praktis
Masalah praktis pendidikan, di samping akibat pegangan teoritik yang tidak jelas seperti yang diuraikan di atas, timbul karena kondisi dan tuntutan dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan, yaitu :
a.       Perkembangan iptek yang semakin cepat
Terdapat korelasi antara perkembangan pendidikan dengan perkembangan ipteks. Ilmu pengetahuan merupakan hasil dari eksplorasi dan pembaharuan secara sistemik dan terorganisir dengan baik, mengenai alam semesta. Adapun teknologi adalah penerapan yang dirancang dan terencana dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi hajat hidup atau kebutuhan hidup manusia. Sedangkan seni adalah kemajuan kebudayaan berupa aktifitas manusia berkreasi, yang indah untuk melaksanakan tugas kehidupan dengan menyenangkan.
Suatu contoh betapa pengaruh masalah kemajuan teknologi mempengaruhi sitem pendidikan, misalnya perkembangan teknologi informatika. Saat ini seiap saat ada kejadian suatu perkara dapat langsung disiarkan melalui televisi dan media cetak dengan gambar kejadian yang benar. Demikian pula pendidikan yang dulu lebih banyak menggunakan tatap muka langsung saat ini dapat dilaksanakan melalui internet, tv atau modul. Peserta didik cukup duduk belajar di rumah. Kondisi ini mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan baru tujuan pendidikan selalu membutuhkan inovasi, termasuk sarana dan prasarana laboratorium, dan ketenagaan serta pendanaan pendidikan.
Contoh diatas menunjukkan gambaran pengaruh dari iptek terhadap sistem pendidikan. Di samping itu setiap inovasi atau pembaharuan dengan aksentuasi terdapat sejumlah masalah yang berkembang dalam pendidikan. Misalnya untuk mengatasi kekurangan guru pada tahun 80-an di bukalah diploma untuk mencetak guru, akibatnya lulusan guru s1 tidak terangkat atau mendapatkan lapangan pekerjaan oleh karenanya. Contoh lainnya untuk mengatasi kekurangan gedung sekolah dan guru, diadakan sekolah sistem pamong dan SMP terbuka, untuk menghemaat waktu belajar diadakan program Reduce Instructional Time (RIT), untuk memperluas jangkauan peserta didik dengan biaya relatif murah diadakan belajar jarak jauh (BJJ), dan efektifitas proses belajar dan kualitas hasil diadakan pendekatan CBSA dengan pemanfaatan tenaga non guru antara lain konselor, teknisi sumber belajar, dan lain-lainnya. Singkatnya hampir setiap inovasi mengundang dampak masalah dalam pendidikan, demikian juga di bidang seni.
b.      Pengaruh pertambahan penduduk
Laju pertumbuhan penduduk akan menimbulkan masalah dalam pendidikan. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali mengakibatkan penyediaan layanan pendidikan berupa sarana prasarana pendidikan beserta komponennya juga bertambah, hal ini menjadikan berkembangnya masalah pendidikan. Pertambahan penduduk yang dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian serta panjangnya usia rata-rata manusia mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan. Yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar menurun, dan meningkatnya anak usia sekolah lanjutan menengah, angkatan kerja dan usia tua berkat kemajuan di bidang gizi serta kesehatan. Dengan demikian terjadi pergeseran kebutuhan akan fasilitas pendidikan. Untuk fasilitas sekolah dasar berkurang sedangkan untuk fasilitas sekolah lanjutan dan perguruan tinggi meningkat termasuk juga angkatan kerja. Sedangkan untuk usia lanjut juga meningkat diperlukan pendidikan non formal dan keagamaan.
c.       Peningkatan aspirasi masyarakat
Aspirasi masyarakat terhadap pendidikan semakin meningkat. Dalam dua dasa warsa terakhir ini aspirasi dalam kehidupan semakin meningkat, misalnya aspirasi terhadap ilmu pengetahuan, pendidikan, hidup sehat, lingkungan, pekerjaan, teknologi dan seni, kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Banyak pakar sepakat bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang memadai, teknologi yang tepat, hidup sehat yang lebih layak harus ada pekerjaan yang menopang, dan pendidikan merupakan alternatif untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan tetap tersebut. Pendidikan memberikan harapan bagi peningkatan taraf hidup dan menaikkan status sosial di masyarakat.
d.      Problem dana
Kekurangan dana merupakan problem klasik yang dialami semua negara berkembang dalam melaksanakan pendidikan. Keadaan semakin parah apabila mengambil kebijakan tidak atau kurang menempatkan posii pendidikan bukan sebagai prioritas. Memang kebanyakan pemimpin setuju kalau pendidikan merupakan kumci keberhasilan pembangunan karena menyangkut sumber daya manusia, tetapi dalam praktek masih lebih memprioritaskan aspek pembangunan yang lain. Bagaimana pendidikan dapat berhasil dengan baik kalau sarana pendukungnya tidak memadai. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi problem dana adalah dengan paradigm berfikir pendidikan yang inovatif, yaitu mencari jalan lebih efisien.
e.       Belum adanya sistem menajemen yang mantap
Kemajuan zaman menuntut adanya manajemen yang handal karena kenyataan membuktikan bahwa faktor manajemen dapat merupakan faktor yang penyebab kurang optimalnya keberhasilan suatu organisasi atau lembaga. Meskipun sumber daya cukup memadai kalau tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan kegiatan berjalan dengan baik.
f.       Munculnya konsep-konsep baru
Pendidikan tidak boleh kedap lingkungan dan kedap perkembangan konsep-konsep baru yang terjadi di lingkungan. Banyak konsep yang dulunya belum mendapatkan perhatian sekarang mau tidak mau harus dipakai acuan dalam berfikir dan berbuat dalam pendidikan. Konsep baru tentang demokrasi, HAM, otonomi, keragaman budaya, masyarakat madani, tuntutan global, peran politik, dan masih banyak lagi sekarang lebih mencuat keras dalam masyarakat, dan kalau pendidikan memang merupakan sarana untuk pengembangan sumber daya manusia dan perkembangan masyarakat, maka konsep-konsep baru tersebut mau tidak mau harus digunakan berfikir dan berbuat dikalangan pemikir dan pelaksana pendidikan.

3.      Masalah praktis di Indonesia.
Masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia yang sampai saat ini dirumuskan menjadi 5 kelompok, yaitu :
a.       Masalah pemerataan pendidikan
Belum meratanya pendidikan bagi warga negara merupakan masalah yang belum terselesaikan. Wayan (1992) mengemukakan kualitas, proses dan hasil pendidikan belum merata antara daerah-daerah di tanah air Indonesia, antara kota dan luar kota, antara di jawa dan luar jawa. Pendidikan di Indonesia saat ini belum dapat mengangkat kualitas hidup warga negara yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan mungkin baru dapat mengangkat mereka yang kemampuannya unggul saja.
b.      Masalah rendahnya mutu pendidikan
Masalah mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang memprihatinkan. Hal ini terjamin antara lain dari hasil study kemampuan membaca untuk tingkat sekalah dasar yang dilaksanaklan oleh IEA, menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta study. Sementara untuk SLTP, study untuk kemampuan matematika SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-34 dari 38 negara, sedangkan untuk kemampuan IPA hanya berada pada urutan 32 dari 38 negara. Selanjutnya dari UNDP menunjukkan rendahnya kualitas SDM Indonesia yakni berada pada peringkat 109 dari 174 negara yang di ukur, setingkat dibawah Vietnam.
c.       Masalah efisiensi
Efisiensi berarti dengan menggunakan tenaga, biaya yang serendah-rendahnya dapat memperoleh hasil yang maksimal. Jadi sistem pendidikan dikatakan efisien apabila dengan menggunakan segala sesuatu yang serba terbatas namun dapat menghasilkan sebanyak-banyaknya lulusan yang berkualitas. Maka, pada hakikatnya masalah efisiansi adalah masalah pengelolaan, terutama memanfaatkan sumber dana dan daya yang ada pada pendidikan. Para ahli masih banyak yang mengatakan masalah pengelolaan pendidikan di Indonesia kurang efisien. Hal ini nampak pada banyaknya murid yang drop out dan banyaknya anak yang belum memperoleh pendidikan, banyaknya anak yang tinggal kelas dan kurang mendapatkan layanan yang semestinya bagi saudara yang lemah, terbelakang, penandang cacat atau yang sangat cerdas. Untuk itu diperlukan suatu terobosan baru, agar mendapatkan arah pendidikan yang efisien.
d.      Masalah Relevansi
Masalah relevansi adalah masalah kesesuaian antara hasil pendidikan dengan tuntutan lapangan kerja, kesesuaian antara sistem pendidikan dan pembangunan nasional serta antara kepentingan perseorangan, keluarga dan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Melalui pendidikan hendaknya dapat dihasilkan generasi yang terampil, cerdas, berpengaruh luas sehingga dapat berperan menunjang pembangunan nasional di segala bidang. Untuk memenuhi harapan tersebut diperlukan keterpaduan antara perencanaan, pelaksanaan dalam pembangunan khusunya di bidang pendidikan.
e.       Masalah lemahnya manajemen pendidikan
Manajemen yang terpusat pada masa dulu, banyak kendala, misalnya kebijakan pusat yang tidak sejalan atau sesuai dengan kondisi di daerah, pemberian sarana yang tidak diperlukan. Diterbitkannya Undang-Undang no. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah no.25 tahun 2000, maka “ genderang “ otonomi daerah telah ditabuh, sehingga secara yuridis formal telah ada landasan hukum dan kemampuan politik dalam penyelenggaraan pendidikan secara lebih otonomi. Implementasi otonomi pendidikan di tingkat sekolah di Indonesia peningkatan manajemen dilakukan melalui MBS. Hal ini dimaksudkan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengambil kebijakan yang ada sesuai dengan sekolah

2.2 MASALAH DAN USAHA – USAHA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

1.    Mengejar Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan menjadi problem internasional. Dalam konteks Indonesia, mutu pendidikan baru pada tingkat istilah yang mudah di ucapkan dan diharapkan oleh berbagai kalangan. Para peneliti mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kemerosotan mutu pendidikan agar dapat menemukan solusi yang tepat. Dengan mendeteksi faktor-faktor penyebab kemerosotan, dapat memudahkan untuk menemukan “ obat mujarab “yang seharusnya dikonsumsi agar mutu pendidikan sebagaimana diharapkan oleh seluruh komponen bangsa benar-benar terwujudkan secara riil dan hadir secepat mungkin.
Masyarakat masih sering menilai mutu pendidikan diukur dari segi penampilan gedung yang megah, jumlah siswa yang besar, siswa yang masuk berasal dari bintang-bintang kelas atau pelajar teladan ketika mereka berada di sekolah sebelumnya, sering menjuarai lomba, sering menyabet nilai tertinggi dalam ujian negara, dan biayanya mahal. Oleh karena itu mereka memburu dan berebut untuk bisa memasuki maupun memasukkan putra putrinya ke sekolah-sekolah yang memiliki karakter tersebut dengan berbagai cara maupun pendekatan yang mereka tempuh.
Jadi, parameter mutu pendidikan bagi masyarakat bersifat sangat kapitalistik sehingga masyarakat dari kalangan menegah ke bawah merasa kesulitan menembus sekolah-sekolah yang di anggap bermutu tersebut. Padahal, anggapan mereka tidak selalu benar. Dengan kemampuan fasilitas yang lengkap, intelektual yang mapan, dan financial yang kuat dapat memudahkan sekolah untuk memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan maupun kebutuhan sekolah. Ketika seluruh keburuhann yang terpenuhi,  proses pendidikan apalagi proses pembelajarannya dapat berjalan dengan lancar.
Pendidikan yang berkualitas tidak harus serba mahal, yang hanya bisa dijangkau oleh anak – anak orang kaya. Sebuah pendidikan bermutu yang disandarkan pada fasilitas belajar menempatkan pemahaman semakin mutu pendidikan semakin mahal dan elite sebuah sistem pembelajaran. Salah satu tolok ukur pendidikan bermutu dari institusi pendidikan ialah kemampuan institusi pendidikan untuk melahirkan sumber daya manusia yang bermutu. Sementara itu, kualitas pendidikan dapat dilihat dari segi ekonomi, sosial politis, sosial budaya, perspektif pendidikan itu sendiri dan persperktif globalissasi.
Pada dasarnya, pendidikan meliputi persekolahan. Mutu pendidikan semestinya meliputi mutu sekolah. Tolok ukur mutu pendidikan juga berlaku sebagai tolok ukur mutu sekolah. Namun ada kalanya parameter keberhasilan sekolah memiliki kriteria – kriteria yang spesifik lagi. Gary A. Davis bersama Margareth A. Thomas melaporkan hasil penyelidikan para peneliti bahwa satu –satunya faktor terpenting dalam keseluruhan keberhasilan sekolah adalah visi, dedikasi, energi dan kepemimpinan instruksional kepala sekolah.
2.    Menerapkan Desentralisasi Pendidikan
Menurut Syafaruddin, desentralisasi pendidikan menjadi salah satu pilihan pemerintah Indonesia setelah era reformasi. Desentralisasi pendidikan berkenaan dengan masalah yang sangat mendasar, yaitu pendidikan adalah milik rakyat dan untuk rakyat. Melalui desentralisasi pendidikan, rakyat lebih diperankan dalam menyelenggarakkan pendidikan mulai dari tingkat perencanaan sampai tingkat evaluasi. Dari sini, desentralisasi pendidikan dapat diharapkan mampu menumbuh-kembangkan pendidikan di Indonesia secara alamiah ( natural ) tanpa terlalu dicampuri kepentingan – kepentingan penguasa.
Tilaar menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan akan melahirkan warga negara yang inovatif, kompetitif, tetapi juga kooperatif dalam membangun masyarakat yang demokratis. Pada tataran konseptual, kebijakan desentralisasi pendidikan dapat melahirkan inisiatif gagasan maupun tindakan inovatif, watak kompetitif secara sehat, upaya menggali kearifan lokal, dan dapat mencapai mutu pendidikan.
Komitmen dari pemerintah pusat untuk menerapkan desentralisasi pendidikan cukup baik, tetapi ketika turun di daerah menjadi ajang persaingan yang tidak sehat. Dari konsep tersebut mestinya antar-daerah bisa bersaing keunggulan pendidikan di daerahnya masing – masing. Namun, yang terjadi justru bersaing memoles nilai para peserta ujian untuk mengesankan keberhasilan kepada daerah, tetapi sesungguhnya keberhasilan itu palsu.
Pemerintah menuntut demokrasi pendidikan secara retorika, tetapi secara realitas menolaknya. Padahal, dalam desentralisasi pendidikan terdapat kehidupan pendidikan yang lebih demokratis. James S. Coleman menginformasikan bahwa dalam demokrasi terdapat teori yang mengansumsikan pendidikan ,merupakan sebuah korelasi atau persyaratan bagi tatanan demokratis.
Desentralisasi pendidikan dapat dipandang sebagai pembaruan atau reformasi dalam pendidikan yang biasa menghadapi berbagai kesulitan. Kesulitan sebagai suatu resiko sebaiknya dihadapi dan diatasi, bukan ditinggalkan secara tidak bertanggung jawab. Apabila seluruh komponen bangsa mampu bergerak dan bekerja terpadu serta searah berarti mereka solid dan sinergis dalam mengatasi berbagai persoalan yang timbul akibat implementasi desentralisasi pendidikan. Manakala model bekerja ini yang ditempuh oleh mereka, sangat memungkinkan desentralisasi pendidikan menjadi sangat efektif dalam mengangkat martabat pendidikan di Indonesia. Implementasi desentralisai penddikan akan lebih efektif lagi ketika disertai manjemen berbasis sekolah.

3.      Menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah
Penerapan desentralisasi pendidikan tersebut menuntut pengelolaan model manajemen berbasis sekolah (MBS ) atau school based management ( SBM ). Dengan kata lain, dari kebijakan desentralisasi pendidikan, lalu ditempuh kebijakan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah sebagai konsekuensi logisnya sehingga terdapat kesamaan misi antar demokrasi, reformasi, otonomi daerah, desentralisasi pendidikan, dengan manajemen berbasis sekolah.
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program seperti Aku Anak Sekolah, pemberian beasiswa pada peserta didik serta dana bantuan operasional (DBO) bagi sekolah sekolah yang tidak mampu sekolah untuk menyelamatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Program-program tersebut merupakan jarring pengaman sosial (JPS) dalam bidang pendidikan. Program-program tersebut sempat memberikan harapan bagi kelangsungan dan terkendalinya kualitasny pendidikan pada masa krisis. Namun lantaran pengelolaannya terlalu kaku dan sentralistik, program tersebut tidak banyak memberikan dampak positif. Angka partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan tetap menurun, hal ini di duga karena persoalan manajemen. Oleh karena itu, muncullah ide pengelolaan pendidikan yang memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Pemikiran ini kemudian disebut manajemen berbasis sekolah (MBS) atau scholl based management (SBM), yang telah berhasil memecahkan berbagai masalah pendidikan di berbagai negara maju.
Dengan demikian, muncullah pemikiran penerapan manajemen berbasis sekolah di landasi evaluasi, perbandingan, kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, serta keharusan meningkatkan mutu pendidikan secara umum. Kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarkat sebagai bentuk tindakan responsif, objektif, dan sportif dalam menangani persoalan pendidikan.
MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Menurut Susilo, paradigma MBS beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Adapun tujuan MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, fleksibilitas pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, dan hal-hal yang menumbuhkan suasana kondusif. Sementara pemerataan pendidikan ditunjukkan oleh partisipasi masyarakat yang mampu dan peduli, sedangkan yang kurang mampu menjadi tanggung jawab pemerintah.

Fattah membagi implementasi MBS menjadi tiga tahap, yaitu :
a.       Tahap sosialisasi menjadi penting karena dua pertimbangan, yaitu kondisi wilayah Indonesia yang begitu luas, khususnya daerah-daerah yang sulit dijangkau media informasi dan karakter masyarakat Indonesia yang tidak mudah menerima perubahan.
b.      Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan manajemen berbasis sekolah tidak mengandung resiko. Efektifitas piloting membutuhkan persyaratan dasar berupa akseptabilitas, akuntabilitas, refikabilitas, dan sustainabilitas.
c.       Diseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model MBS yang telah di uji cobakan berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara efektif dan efisien.

4.      Memperbaiki Kurikulum
Asal mulanya, kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau sejumlah pengetahuan yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah. Makna ini menggambarkan bahwa kurikulum seperti daftar menu makanan. Kemudian, makna ini bergeser menjadi lebih luas lagi. Belakangan kurikulum cenderung dipahami sebagai seluruh kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan.
Kurikulum di Indonesia memiliki gaung yang sangat besar. Seolah-olah pendidikan itu kurikulum, dan sebaliknya kurikulum itu adalah pendidikan, sehingga bagi orang-orang tertentu sulit membedakan antara keduanya. Padahal, kurikulum tidak lebih sebagai salah satu alat pendidikan. Sementara alat-alat yang lain masih banyak, seperti alat peraga, metode pengajaran, keteladanan, dan evaluasi. Namun, ketika disebut kurikulum seolah-olah alat-alat pendidikan lain terhalangi oleh “ kebesaran nama kurikulum “.
Hal ini terjadi karena persepsi kita terhadap kurikulum terlalu di besar-besarkan. Semestinya kurikulum sebagai suatu alat pendidikan yang keberadaannya biasa saja bahkan niscaya. Tetapi kenyataannya, kurikulum dikesankan sesuatu yang istimewa sehingga menyerap perhatian banyak orang.
Kurikulum perlu mengalami perubahan, sebaiknya berubah, dan adakalanya harus segera diubah ketika menghadapi tantangan-tantangan yang mendesak. Perubahan kurikulum mesti dilakukan terutama akibat perkembangan sains dan teknologi yang begitu jauh sementara kurikulum pendidikan belum merespons perkembangan tersebut. Alasan ini bagi masyarakat dan guru bisa dipahami. Pangkal persoalan keresahan masyarakat khususnya para guru dan siswa adalah konsekuensi-konsekuensi pasca-perubahan kurikulum. Pada sisi lain, perubahan kurikulum menyerap anggaran yang besar sekali. Masyarkat menyadari logika anggaran itu, tetapi mereka menjadi berang ketika mengetahui ada gejala-gejala pemanfaatan anggaran dengan kedok perubahan kurikulum.
Perubahan kurikulum merupakan suatu keniscayaan, terlepas adanya kesulitan-kesulitan tertentu termasuk keresahan masyarakat tersebut. Apabila kesulitan itu dihadapi atau direspons secara positif dengan dicarikan solusi, pada akhirnya akan bisa diatasi dengan baik. Apalagi adanya perubahan atau pembaruan kurikulum. Hukum perubahan atau pembaruan selalu menimbulkan gejolak, konflik, dan gugatan karena perubahan atau pembaruan selalu membawa nilai-nilai baru berhadapan dengan kepentingan-kepentingan dari kalangan tertentu yang berlawanan.
Kemungkinan adanya penolakan terhadap kebijakan perubahan kurikulum tidak menyurutkan tekad dan semangat pemerintah untuk tetap melakukan perbaikan kurikulum sebagai jawaban terhadap pengembangan masyarakat, modernitas, maupun perkembangan sains dan teknologi. Sikap tegas ini didasari suatu pemikiran bahwa perbaikan kurikulum setidaknya sebagai langkah awal untuk merealisasikan kemajuan pendidikan di Indonesia.
Hadis dan Nurhayati memandang kurikulum memegang peranan penting dalam mendukung pembelajaran yang optimal sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas. Menurut Dede Rosyada salah satu penyelesaian tentang kurikulum di Indonesia adalah melalui perbaikan mendasar pada kurikulum. Sedangkan menurut pandangan Oemar Hamalik, kurikulum merupakan alat yang amat penting untuk meningkatkan keberhasilan sistem pendidikan secara menyeluruh.
Selama ini kurikulum telah berganti-ganti. Pergantian atau perubahan kurikulum telah didasarkan pada berbagai teori yang paling mutakhir, telah dihadirkan pakar pendidikan dan bahkan pakar kurikulum. Namun kurikulum tersebut tidak bisa dirasakan fungsinya jika tidak disertai metode pembelajarannya. Tukiman Tarunasayoga bahkan menilai, “ apapun kurikulumnya yang terpenting adalah metode pembelajarannya “. Disinilah arti penting dari suatu metode pembelajaran, pendekatan pembelejaran, strategi pembelajaran, dan semacamnya dalam keseluruhan proses dan hasil pendidikan. Semua itu dapat dirangkum ke dalam istilah sistem pembelajaran.
5.      Memperbaiki Sistem Pembelajaran
Metode pembelajaran memiliki kontribusi terhadap hasil pendidikan. Metode pembelajaran ini melengkapi peran kurikulum dalam mewujudkan hasil pendidikan. Oleh sebab itu, metode, model, pendekatan, maupun strategi pembelajaran seharusnya mendapat perhatian bersamaan dengan kurikulum. Metode pembelajaran ini, di samping atmosfer yang diciptakan di sekolah, turut memberi pengalaman pada anak. Menurut Djohar, “ pengalaman anak dalam proses pembelajaran sehari-hari akan mewarnai kompetensi lulusannya.“
Demikian juga corak pengalaman yang dihadapi siswa ketika di rumah. Pengalaman di rumah sangat berpengaruh terhadap tipologi kepribadian anak. Dorothy Law Nolte memaparkan proses pengalaman anak
a.        If a child lives with criticsm, he learns to condemn
b.      If a child lives with hostility, he learns to fight
c.       If a child lives with fear, he learns to be apprehensive
d.      If a child lives with pity, he learns to feel sorry for himself
e.       If a child lives with ridicule, he learns to be shy
f.       If a child lives with jealousy, he learns what envy is
g.      If a child lives with shame, he learns to feel guilty
h.      If a child lives with encouragement, he learns to be confident
i.        If a child lives with tolerance, he learns to be patient
j.        If a child lives with praise, he learns to be appreciative
k.      If a child lives with acceptance, he learns to love
l.        If a child lives with approval, he learns to like himself
m.    If a child lives with recognition, he learns that it is good to have a goal
n.      If a child lives with sharing, he learns about generosity
o.      If a child lives with honesty and fairness, he learns wath truth and justice are
p.      If a child lives with security, he learns to have faith in himself and in those about him
q.      If a child lives with friandlines, he learns that the world is a nice place in whice to live
r.        If you lives with serenity, your child will live with peace of mind
Peringatan tersebut sangat berarti untuk direnungkan dan dipikirkan kembali. Kemudian, kalau selama ini keliru dalam mendidik anak seharusnya segera mengubah situasi pendidikan di rumah oleh orang tua. Di sekolahpun guru juga perlu meninjau kembali sikap dan responnya dalam menghadapi anak-anak. Anak bisa minder karena kesalahan sikap guru, namun seorang anak bisa bersemangat karena peran guru yang baik dalam mendidiknya. Ini semua tergantung dari kondisi atau suasana sistem pembelajaran yang mereka terima. Sistem pembelajaran harus semakin diarahkan dan dipusatkan kepada siswa (student centered instruction) sebagai wujud dari penguatan demokrasi pendidikan.

6.      Meningkatkan Kesejahteraan Pendidikan
Pada tingkat institusional, tugas dan wewenang memajukan pendidikan berada di tangan manajer pendidikan, baik Kepala Sekolah, Direktur Akademi, Ketua Sekolah Tinggi, Dekan Fakultas dan Rektor Institut atau Universitas. Namun pada tingkat pembelajaran tugas dan wewenang tersebut berada di tangan guru dan atau dosen. Hal ini sangat bergantung pada kualitas guru dan atau dosen. Guru yang berkualitas akan bisa mengawal kemajuan pendidikan sehingga menjadi penompang keberhasilan kepala sekolah. Rahardjo, meyakinkan bahwa di tangan guru yang berkualitas akan lahir lulusan yang juga berkualitas. Sebaliknya, di tangan guru yang berkualitas rendah, tidak akan pernah lahir lulusan yang bermutu, sekalipun lembaga tersebut berlabel internasional.
Menurut mulyasa, guru dalam menjalankan tugas memerlukan rasa aman secar psikologis melalui kepastian karir dan insentif sebagai imbalan atas pekerjaannya. Jaminan ini harus ada meskipun negara dalam keadaan krisis. Pentingnya rasa aman tersebut, paling tidak supaya guru tidak disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan sambilan yang bisa mengganggu konsentrasi mendidik siswa.
Kesejahteraan dan profesionalisme memberikan amunisi dalm membangun kualitas pendidikan.Hadis dan Nurhayati menyatakan bahwa dalm perspektif mikro,faktor dominan yang berpengaruh dan berkontribusi besar terhadap mutu pendidikan adalah guru yang profesional dan sejahtera. Namun, Darmaningtyas mengingatkan, kenaikan gaji guru yang tinggi tidak akan membawa perbaikan mutu pendidikan nasional, apabila kenaikan  gaji tersebut hanya meningkatkan pola hidup konsumtif dengan cara kredit barang – barang mewah saja. Bila ini terjadi, kenaikan gaji guru berapa-pun akan mubadzir, tidak akan pernah berdampak pada perbaikan mutu pendidikan nasional.

2.3 HAMBATAN – HAMBATAN PERMASALAHAN PENDIDIKAN
A.    Intervensi Politik
Kepentingan politik pemerintah terhadap pendidikan ada pada setiap kekuasaan, hanya kadarnya yang berbeda. Pendidikan nasional adalah kepanjangan dari pendidikan politik dari penguasa pemerintahan. Pendidikan telah dijadikan alat penguasa dan bukan sebagai sarana untuk kehidupan bernegara. Sejarah pendidikan telah menunjukkan bagaimana pendidikan nasional telah dijadikan sebagai sarana indoktrinasi ideologi negara atau partai politik yang berkuasa.
M. sirozi menuturkan, bahwa institusi-institusi pendidikan pada awalnya di desain hanya untuk menjalankan fungsi-fungsi pendidikan. Akan tetapi, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi pendidikan. Akan tetapi, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi tertentu baik disadari atau tidak oleh pengelolanya. Ada tiga alasan utama yang mendasari kecenderungan ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamika sosial politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecenderugan para politisi dalam mengeksploitasi peran lembaga pendidikan untuk kepentingan politiknya ; dan ketiga karena para pengelola sekolah hakikatnya juga para politisi yang sengaja dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.
Nuansa akademik yang seharusnya mewarnai lembaga pendidikan sehingga ia benar-benar menjalankan fungsi pendidikan dan steril dari implementasi kepentingan politik. Kenyataannya, kepentingan politik merasuki pendidikan, baik pada dataran filosofis, doktrinal, manajerial hingga pengajaran. Intervensi politik pada pendidikan inilah yang menjadi hambatan besar. Uno mengatakan bahwa sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu penyebab keterpurukan mutu dan keunggulan di tanah air. Sebab, sistem birokrasi selalu menempatkan sistem kekuasaan sebagai faktor yang paling menetukan dalam proses dalam pengambilan keputusan.
Motif kekuasaan birokrasi mengendalikan pendidikan adalah interest atau kepentingan politik tertentu sehingga diorientasikan pada komitmen membangun kekuatan, jaringan, pencitraan dan kemenangan politik dari suatu agenda yang ingin dijalankan dalam suatu mayarakat. Pendidikan hanya dpersepsi mengikuti kepentingan politik mereka sehingga menjadi wajar bahwa pendidikan di Indonesia sedang menjalankan misi penguasa. Dengan kata lain, formalitasnya pendidikan tetapi substansinya politik, sehingga lulusan-lulusan pendidikan dikenal jago-jago memainkan intrik-intrik politik, tetapi sangat lemah dalam menguasai substansi keilmuan.
Kepentingan politik bagi peserta didik mengalami internalisasi tanpa disadari, telah mengubah pandangan, mindset, persepsi, sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin bagi kebanyakan peserta didik sekarang juga belum menyadari bahwa kebijakan pemerintah tentang demokrasi pendidikan, desentralisasi pendidikan, perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen bahkan sampai perumusan tujuan pendidikan nasional ternyata tidak pernah lepas dari interest politik penguasa.
Sirozi menuturkan, sangat sulit menemukan program atau kebijakan pendidikan yang tidak dilatarbelakangi interest politik, diboncengi agenda politik atau terinspirasi keyakinan ideologis tertentu. Sangat sulit menemukan kebijakan dan sikap politik yang tidak bergandengan dengan agenda kependidikan. Menurut sirozi, “ pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara,baik negara maju maupun negar berkembang”. Permasalahannya, ketika pendidikan diinterfensi kepentingan politik, pendidikan menjadi mandul dan mengalami bias dari idealisme yang seharusnya. Pendidikan tidak mampu memenuhi harapan masyarakat, justru pendidikan akhirnya menjadi sumber masalah baru.
Soyomukti menegaskan bahwa pendidikan adalah ajang pertarungan ideologis. Pada kenyataannya, apa yang menjadi tujuan pendidikan saat ini berbenturan dengan kepentingan lain. Ketika kepentingan politik berbenturan atau berhadap-hadapan, praktis pendidikan menjadi permainan tarik tambang para politisi. Pendidikan menimbulkan banyak korban, yakni masyarakat demi kelancaran kepentingan penguasa.
Penggiringan pemahaman masyarakat dimulai sejak anak-anak. Dalam usia yang sangat belia, mereka telah memanfaatkan dengan diberikan doktrin-doktrin yang telah direkayasa. Drost menyatakan , “ Sudah jelas azas usaha dasar persekolahan ialah ‘ Sekolah Demi Anak ‘ “ketika anak dipaksa mengikuti kehendak sekolah kemudian sekolah dipaksa mengikuti kehendak pemerintah atau penguasa, konsekuensinya alur pendidikan terjungkir balik. Pendidikan hanya digunakan topeng atau kedok.
Pendidikan hanya menampilkan formalitas atau simbol-simbol, bukan substansi nilai-nilai edukatif-pedagogis. Simbolisasi pendidikan ini seringkali bertabrakan dengan aktifitas, baik pada dataran pendidikan intelektual, ketrampilan maupun moral. Sehingga pendidikan hanya dijadikan sebagai “sapi perah” bagi tujuan dan kepentingan politik tersebut.
B.      Tuntutan Pasar
Politik memiliki kaitan erat dengan ekonomi dalam mewarnai pendidikan. Sebagai ideologi ekonomi, kapitalisme sekarang sedang berkibar menyusuri dan mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari baik dalam bidang bisnis, sosial, budaya, kesehatan, kesenian, hiburan, mode, makanan, maupun pendidikan. Kapitalisme begitu sukses memengaruhi  sebagian besar masyarakat dunia karena disponsori oleh Negara-negara besar, seperti Amerika dan Inggris serta sekutu-sekutunya.
Indonesia termasuk Negara yang tidak lepas dari pengaruh kapitalisme hampir pada seluruh sektor kehidupan. Susilo menyatakan, arus kapitalisme telah merasuk kedalam urat nadi kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, dalam dunia pendidikan pun tidak luput dari kekejaman kapitalisme yang hanya bicara soal untung dan uang yang berkuasa atas segalanya. Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi liberal kapitalisme. Tilaar juga menuturkan, kekuatan ekonomi ini telah memasuki pendidikan nasional. Salah satu bentuk pemikiran ekonomis dalam pendidikan adalah orientasi liberalisme atau lebih tepat lagi neoliberalisme.
Pendidikan di Indonesia kini makin mengalami kemunduran serta degradasi moral dan spiritual. Proses pendidikan makin dijauhkan dari perimbangan sosial-religius sebagai idealisme yang ingin diwujudkan melalui pesan-pesan pancasila. Pendidikan kita makin diarahkan pada sifat-sifat materialistik, mengejar materi sebanyak-banyaknya, dan menumpuk modal sebesar-besarnya sebagai jaminan ketahanan suatu lembaga pendidikan.
Pengaruh kapitalisme yang menekankan pada kebebasan pasar memaksa pendidikan untuk mengikuti kaidah-kaidah, norma-norma, dan parameter-parameter perekonomian. Tilaar menuturkan, epistema ekonomi menguasai pemikiran pendidikan. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah sesuai dengan standar, terutama yang telah ditentukan oleh epistema ekonomi. Ketika lembaga pendidikan disebut favorit, maju, dan bonafide, berarti lembaga tersebut telah memenuhi standar unggulan.
Selanjutnya, pendidikan kita didesain seperti perlombaan atau pertandingan. Lembaga pendidikan lain dianggap kompetitor, siswa lain sebagai rival, dan lulusan dari sekolah lain apalagi dari luar negeri sebagai pesaing. Tilaar menuturkan, dewasa ini “ daya saing “ merupakan momok baru di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Segala sesuatu diarahkan pada peningkatan daya saing sehingga proses pendidikan telah mengabaikan proses pembudayaan serta penajaman moral. Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa pendidikan kita dipaksa mengikuti keinginan pasar. Sementara di pasar juga terdapat banyak penipuan, seperti lulusan pendidikan kita yang banyak menipu masyarakat luas.
Setiawan melaporkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih timpang. Pendidikan hanya berorientasi pasar. Pendidikan belum mampu menyentuh persoalan riil yang dihadapi msyarakat. Pendidikan hanya dijadikan alat mendapatkan “ kenikmatan dunia “. Pendidikan belum mampu menjadikan manusia mandiri. Pendidikan belum mampu menyadarkan manusia dari keterasingan hidup. Ringkasnya, pendidikan hanya dijadikan komoditas pemilik modal. Pemilik modal membutuhkan uang dan masyarakat membutuhkan status.
Rahardjo mengungkapkan, pendidikan malah menjadi barang dagangan yang dirasakan semakin mahal. Menteri pendidikan pun mendapat julukan baru sebagai menteri perdagangan pendidikan. Sebab, pemerintah gagal menekan berkembangnya watak kapitalistik pendidikan. Callahan menegaskan, meskipun pendidikan bukan bisnis dan sekolah bukan pabrik, tak dapat dibantah adanya praktik bisnis yang sebenarnya dari pekerjaan sekolah. Tetapi mereka seolah berpacu memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak kita.
Jadi, kalau pendidikan dapat meningkatkan perekonomian, seharusnya memang menjadi keniscayaan kendatipun ada yang justru menjadi pengangguran intelektual. Pendidikan seharusnya memiliki konstribusi, bukan malah korelasi dengan ekonomi. Cadwall dan Spinks menegaskan, hubungan antara pendidikan dan ekonomi tentu selalu ada. Pendidikan selalu memberikan konstribusi yang signifikan terhadap peningkatan ekonomi. Pendidikan yang terpasung pada tujuan dan orientasi ekonomi dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, antara lain tumbuhnya kecenderungan hanya memburu formalitas, tumbuh suburnya sifat dan sikap materialistik, timbulnya sikap ketergantungan pada pemerintah atau orang lain, menempatkan diri pada posisi yang bergantung pada lapangan kerja, memupuk sikap arogan, dan gila terhadap gelar.
C.     Keranjingan Gelar
Sekali lagi akibat dari keterpasungan pada ekonomi khususnya tuntutan pasar, keduanya sebagai konsekuensi pengaruh kapitalisme-liberalisme maupun liberalism-kapitalisme yang terefleksikan dalam bentuk neo-liberalisme, telah menggeser kecenderungan-kecenderungan masyarakat, antara lain gila gelar atau lebih ekstrim lagi patut disebut sebagai keranjingan gelar. Kesan atau nilai gelar sekarang ini sangat berbeda dibandingkan dengan zaman dahulu seperti gelar BA, B.Sc, dan Bc.Hk yang kuliahnya rata-rata tiga tahun sepadan dengan D-3, sudah terasa sangat elitis. Apalagi gelar pada zaman kerajaan dahulu, bahkan mengandung nilai-nilai sosial maupun mistik. Namun sekarang, penilaian masyarakat sudah mengalami penurunan luar biasa karena banyak orang yang menyandang gelar. Posisi gelar pada saat sekarang dapat dianalogikan dengan kondisi yang terakhir itu, yakni banyak orang yang menyandang gelar, tetapi sedikit sekali yang bisa terserap bekerja yang layak sepadan dengan gelarnya. Bahkan, banyak pengangguran yang bergelar. Oleh karena itu, citra gelar menjadi menurun drastis.
Chan dan Sam menuturkan, secara kultural dan historis gelar mampu menjadi pendongkrak status sosial seseorang. Dari dua perspektif itu gelar mempunyai makna yang signifikan dengan jenjang karier atau jabatan. Gelar juga menjadi penentu awal dalam seleksi dan penerimaan karyawan di sebuah perusahaan atau instansi. Meskipun citra gelar mengalami penurunan secara drastis dibanding zaman dahulu, tetapi masih dipandang penting terutama dalam memperoleh pekerjaan yang cukup prestisius. Oleh karena itu, masyarakat masih memburu gelar dengan berbondong-bondong memasuki perguruan tinggi. Tilaar menilai bahwa keranjingan masyarakat pada gelar mempunyai nilai yang positif karena menandakan masyarakat ingin maju. Sepanjang lembaga-lembaga pemberi gelar akademik tidak merugikan masyarakat berarti mereka terus memburu dan memanfaatkannya, berarti membantu usaha kita semua untuk mencerdaskan rakyat Indonesia.
Secara substantif, perguruan tinggi telah kehilangan misinya, dan terlalu mudah memberikan gelar tanpa menjaga kualitasnya dengan ketat. Perguruan tinggi justru memfasilitasi keinginan masyarakat yang sangat pragmatis. Perguruan tinggi membutuhkan dana besar, sedangkan masyarakat membutuhkan gelar sehingga keduanya dalam posisi saling membutuhkan. Kebutuhan perguruan tinggi terhadap dana besar melupakan fungsinya sebagai agent of change, agent of modernization, agent of innovation, center of science, dan center of research development. Sementara kebutuhan masyarakat pada gelar tanpa memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi keilmuan bagi mereka sebagai penyandang gelar.
Keranjingan masyarakat pada gelar sebagaimana dinilai Tilaar sebagai tanda ingin maju sebenarnya bertolak belakang. Penilaian pakar pendidikan ini baru terbukti apabila keranjingan gelar tersebut didasarkan pada komitmen yang kuat dalam penguasaan dan pendalaman ilmu pengetahuan. Masyarakat sangat menyukai gelar, tetapi tidak menyukai ilmu. Mereka tidak resah ketika tidak mampu menguasai ilmu di bidang keahlian yang dipilih. Mereka sangat resah bila gagal mendapatkan gelar. Fakta inilah yang memberikan pengaruh negatif pada pelajar kita. Mereka tidak lagi murni berkonsentrasi mencari ilmu. Mereka telah terkontaminasi oleh kecenderungan dan sikap pragmatis tersebut. Leonard menyatakan bahwa salah satu faktor yang merusak para pelajar kita sekarang ini adalah perlombaan dalam mencari gelar perguruan tinggi.
Akibatnya, pendidikan kita semakin jauh dari harapan. Kita sulit mencari orang yang benar-benar murni mendalami ilmu. Bahkan banyak orang yang beranggapan bahwa kuliah adalah mencari gelar, suatu konotasi yang berubah dari ilmu menjadi status sosial. Darmaningtyas melaporkan bahwa banyak orang beranggapan bahwa kuliah sekedar untuk mendapatkan ijazah atau gelar saja. Sikap pragmatis dan reduksionis itulah yang melegitimasi terjadinya praktik jual beli gelar dan kebijakan yang rusak-rusakan dalam bidang pendidikan, termasuk membuka kelas jauh. Darmaningtyas mengidentifikasi bentuk-bentuk gelar sebagai cermin dari berbagai cara yang ditempuh masyarakat kita. Ia menyebutkan ada 4 macam MM : MM sungguhan, MM sabtu minggu, MM jarak jauh, dan MM kaki lima. Di samping itu, terdapat 6 macam doctor : doctor disertai, doctor honoris causa, doktor humaris causa, doktor hororis causa, doktor tiban, dan doktor palsu.
Dari segi cara-cara memperoleh gelar doktor, menurut penulis ada 6 macam, yaitu doktor mandiri, doktor kerja bakti, doktor jahitan, doktor pembelian, doktor kehormatan, dan doktor barteran. Pertama doktor mandiri merupakan doktor yang diperoleh dengan sungguh-sungguh menempuh kuliah dan menulis disertasi tanpa kontribusi orang lain. Kedua adalah doktor kerja bakti yaitu doktor yang diperoleh dengan kuliah, tetapi tugas-tugas penulisan karya ilmiah maupun disertasi dikerjakan bersama-sama dengan banyak orang. Biasanya orang-orang yang diajak kerja bakti itu adalah anak buah dari penyandang gelar doktor itu. Ketiga adalah doktor jahitan, yaitu doktor yang di capai melalui kuliah tetapi tugas-tugas karya ilmiah dan disertasi sengaja menyuruh orang lain untuk mengerjakannya. Keempat adalah doktor pembelian yaitu doktor yang diperoleh dengan cara membeli gelar tanpa kuliah sama sekali. Kelima doktor kehormatan yaitu doktor yang diperoleh seseorang dari suatu perguruan tinggi karena jasa-jasa orang tersebut kepada masyarakat yang dinilai olar biasa pesat. Sementara yang keenam adalah doktor barteran yaitu doktor yang diperoleh seseorang dari perguruan tinggi dengan cara perguruan tinggi tersebut berharap mendapat sesuatu dari orang yang diberi gelar itu atau telah dilakukan perjanjian sebelumnya mengenai imbalan yang bakal diterima perguruan tinggi tersebut atau rektornya.  
D.    Skandal pendidikan
Kondisi pendidikan di Indonesia semakin memprihatinkan jika kita memperhatikan berbagai macam bentuk pelanggaran atau penyimpangan. Pelanggaran yang dilakukan dari bentuk pelanggaran ringan hingga pelanggaran berat yang patut disebut sebagai skandal pendidikan. Pelanggaran ini dilakukan berbagai pihak, baik siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, masyarakat, mahasiswa, dosen, pembimbing, pimpinan perguruan tinggi, pejabat, polisi, jasa pembuatan karya ilmiah dan lain sebagainya.
Para siswa di Indonesia telah melakukan berbagai pelanggaran. Pelanggaran ini bisa berbentuk menciptakan kebohongan ketika mereka datang sekolah , keluyuran di berbagai tempat ketika jam pelajaran berlangsung, tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah saat diberi tugas, membentuk “geng” yang digunakan untuk tawuran dengan sesame siswa dari sekolah lain, merokok, minum-minuman keras, mengkonsumsi, melakukan pergaulan bebas (free sex ), dan lain lain. Pelanggaran yang paling umum dilakukan siswa adalah menyontek ketika pelaksanaan ujian nasional.
Ada perkembangan lebih menarik lagi, ternyata banyak sekali tindakan menyontek yang dilakukan siswa di desain oleh gurunya. Guru sering kali mengkondisikan tempat duduk dengan menempatkan siswa yang bodoh diapit siswa yang pandai agar bisa menyontek saat ujian. Ada guru yang mengajarkan sandi-sandi apabila ditanya temannya, dan ada juga yang memasang kunci jawaban di toilet, hingga guru mengerjakan soal yang jawabannya diberikan kepada siswanya.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa guru telah kehilangan kendali. Mereka telah menggadaikan etika guru. Mereka telah menabrak hal-hal yang sangat prinsip bagi guru, yaitu kejujuran. Guru yang sebelumnya dianggap sebagai sumber kejujuran, sebagaimana tercermin pada namanya, guru (biso digugu lan ditiru : bahasa jawa), belakangan menjadi arsitek kecurangan. Kalau guru sendiri sebagai arsitek kecurangan apalagi yang bisa diharapkan hasil dari pendidikan di Indonesia.



BAB 3
PENUTUP

3.1  SIMPULAN
Pendidikan itu merupakan kegiatan proses belajar mengajar yang sistem pendidikannya yang senantiasa berbeda atau berubah dari satu masyarakat kepada masyarakat lain. Terjadinya perbedaan atau perubahan pada sistem pendidikan tersebutlah yang mengakibatkan munculnya permasalahan pendidikan. Adapun jenis masalah pendidikan yaitu :
1.      Permasalahan Teoritis
2.      Permasalahan Praktis
Sedangkan Pemerintah sudah cukup berusaha dalam mengatasi masalah-masalah dalam dunia pendidikan ini. Masalah-masalah di dunia pendidikan pastilah harus dicarikan usaha-usaha yang tepat untuk menyelesaikannya. Usaha-usaha tersebut antara lain sebagai berikut :
1.      Mengejar Mutu Pendidikan
2.      Menerapkan Desentralisasi Pendidikan
3.      Menerapkan Manajemen Berbasis sekolah
4.      Memperbaiki Kurikulum
5.      Memperbaiki Sistem Pembelajaran
6.      Meningkatkan Kesejahteraan Pendidik
Namun dibalik usaha-usaha yang telah dilakukan dengan penuh perhatian ini, tedapat banyak kendala-kendala atau hambatan-hambatan dalam pelaksanaan usaha pemecahan masalah pendidikan. Hal ini menyebabkan ada sebagian usaha yang sudah ditempuh menjadi kurang maksimal. Hambatan-hambatan tersebut antara lain :
1.      Intervensi Politik
2.      Tuntutan Pasar
3.      Keranjingan Gelar
4.      Skandal Pendidikan

3.2  SARAN
Cita-cita pendidikan di Indonesia begitu ideal, namun realitasnya masih jauh dari idealisme pendidikan. Apapun kebijakan yang diusung pemerintah, entah pembaruan kurikulum, entah meningkatkan anggran, entah peningkatan standar pendidikan, hasilnya dirasa seakan-akan berjalan di tempat. Biaya pendidikan di sekolah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penganguran berijazah sarjana semakin banyak, jurang perbedaan kualitas sekolah di pusat-pusat kota dengan daerah pelosok semakin dalam. Lulusan-lulusan yang dihasilkan pun dirasa masih jauh dari harapan
Kekurang berhasilan memajukan kualitas pendidikan disebabkan kesalah dalam mengidentifikasi sumber permasalahan. Aspek penentu keberhasilan suatu pendidikan terletak pada kesadaran pendidikan. Sebab, kesadaran pendidikan adalah fondasi, landasan yang menentukan keberhasilan pendidikan. Maka konsentrasi kebijakan perlu diarahkan kepada mekanisme membentuk dan membangun kesadaran pendidikan. Lebih jauh lagi, membudayakannya sehingga menjadi kebiasaan, sifat, dan kepribadian masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Canfield,J & wells H. 1976. 100 Ways To Enhance Self-Concept In The Classroom: a handbook for teachers a nd parents. Boston. Allyn & bacon

Mutrofin. 2009. Mengapa Mereka Tak Bersekolah ? Evaluasi Program Kewajiban Belajar. Jakarta. Laksbang Pressindo

Purwanto.2009.Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Sugiono,dkk. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya. Bintang Surabaya

Qomar, Mujamil. 2012. Kesadaran Pendidikan Sebuah Penentu Keberhasilan Pendidikan. Yogyakarta. Ar-Razz Media

Roesminingsih,MV dan Hadi Susarno, Lamijan. 2011. Teori dan Praktek Pendidikan. Surabaya. Bintang Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar

 
Firefly Pointer